Rabu, 8 Januari 2014
KALAH riuh oleh kenaikan harga elpiji, bertambahnya jumlah orang miskin luput dari perhatian. Penambahan 480.000 orang miskin dianggap bukan berita.
Padahal, penambahan dalam periode Maret-September 2013 itu serupa terjadi pada tahun 2006. Dari 28,07 juta orang pada Maret menjadi 28,55 juta orang miskin pada September 2013 sehingga angka kemiskinan naik dari 11,37 persen menjadi 11,47 persen dari total penduduk Indonesia. Penambahan sudah diperkirakan sebelumnya, dampak negatif dari kenaikan harga bahan bakar minyak dan inflasi. Serupa terjadi ketika harga BBM naik pada tahun 2005 yang mengakibatkan kenaikan penduduk miskin dari 35,10 juta menjadi 39,10 juta orang pada tahun 2006.
Berbagai jurus pemberantasan kemiskinan, kita apresiasi bisa mengerem semakin besarnya jumlah penduduk miskin. Ya, apresiasi berbagai jurus program pemberantasan kemiskinan, tetapi lebih perlu kita entakkan rasa perasaan tentang realitas kemiskinan.
Entah dimotivasi nafsu besar Pertamina, entah membangun citra prorakyat dengan kecekatan mengubah kebijakan, kenaikan harga elpiji Rp 1.000 per kilogram pasti menyulut penambahan jumlah penduduk miskin lagi. Selain inflasi dan harga BBM, kenaikan harga elpiji akan bersama-sama mengerek jumlah penduduk miskin.
Masyarakat berkeadilan dan sejahtera adalah tujuan keberadaan negara. Pertumbuhan 5,6 persen tahun ini, lebih kecil dari target 6 persen, memasukkan Indonesia sebagai salah satu dari 20 ekonomi terbesar dunia dalam kelompok G-20. Namun, pada saat sama terjadi ketimpangan pendapatan kelompok kaya dan kelompok miskin. Pembagian hasil pembangunan makin tidak merata.
Kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal merupakan tiga faktor yang terkait erat dengan kemiskinan, penanda indeks pembangunan manusia (IPM) suatu negara. Menurut laporan tahun 2013, IPM Indonesia lebih rendah dari rata-rata negara Asia Timur dan Pasifik. Indonesia duduk di peringkat ke-121 dari 187 negara.
Laporan BPS tentang kemiskinan perlu disikapi tidak sekadar apresiasi jurus pemberantasan ”pemanis” dan ”pencitraan politis”, tetapi terprogram sebagai bagian dari tugas negara. Tanggung jawab negara menangani orang miskin bersifat tidak sekadar yuridis, tetapi etis. Turunan itu berarti bukan terutama program karitatif, tetapi fasilitas dan sarana penduduk sendiri mengatasi kemiskinannya.
Adalah kesalahan etis dan sosial ketika penyediaan sarana pembebasan ditelantarkan. Kelalaian Indonesia mengerjakan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) bukti kita terbuai dengan pencitraan. Korupsi yang semakin masif tak langsung menambah besaran penduduk miskin struktural. Oleh karena itu, korupsi dengan beragam turunannya berarti kejahatan kemanusiaan.
Mengurangi jumlah penduduk miskin merupakan sisi mata uang dari sosialitas kapitalisme, yang seharusnya integral dan built-in dari eksistensi setiap negara, bagian lain keberhasilan pertumbuhan yang dibesar-besarkan.
http://epaper.kompas.com/kompas/books/140108kompas/index.html#/7/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar