Jumat, 17 Januari 2014

Memerangi Kartel Pangan

Kamis, 16 Januari 2014

TAHUN 2013 sudah lewat, dan kini kita memasuki tahun 2014. Semestinya masa lalu menjadi kiblat efleksi untuk menapaki masa depan yang lebih baik. Tahun lalu tercatat terjadi berbagai gejolak kenaikan harga pangan secara tidak wajar. Dari kasus bawang putih, kenaikan harga daging, dan belum lupa dari ingatan kita adalah kenaikan harga kedelai. Semua itu, yang berujung pada kerugian rakyat, disebabkan oleh kemerebakan praktik kartel di negara kita, yang sampai sekarang masih dianggap negara agraris. Kartel sebagai salah satu bentuk pasar oligopoli memang merupakan momok bagi masyarakat. Oligopoli adalah salah satu bentuk pasar yang dikuasai oleh beberapa pelaku pasar. Karena dikuasai oleh hanya beberapa pelaku maka kartel bisa membuat harga (price maker) yang merugikan masyarakat.

Bahkan ada yang menyebut kartel sebagai sindikat, lewat cara membuat kesepakatan di antara anggota dengan tujuan menekan persaingan dan meraih keuntungan maksimal. Caranya dengan menentukan harga, wilayah pemasaran, atau tujuan lain yang mereka sepakati. Ekonom Ayudha D Prayoga dari Universitas Indonesia menyebut kartel sebagai bentuk dari konspirasi, melalui permainan harga, output, pembagian wilayah, pembatasan produksi, dan pembatasan impor. Jadi, menurutnya, konspirasi merupakan ide dasar pembentukan kartel. Konspirasi adalah kegiatannya, adapun kartel lembaganya. Munrokhim Misanam, komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bahkan menyinyalir kartel lebih berbahaya dari korupsi. Kartel menggerogoti uang rakyat secara masif, tanpa pemiliknya menyadari. Ia juga menyamakan kartel dengan rentenir, sama-sama memburu sebanyak-banyaknya keuntungan lewat cara tak sehat. (Kompetisi, Edisi 39, 2013). Keterbentukan kartel pangan berlandaskan motif mencari sebanyak-banyaknya keuntungan. Persoalannya, keberadaan mereka didukung berbagai pihak, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Dilihat dari disiplin ilmu ekonomi kelembagaan, motif memburu keuntungan demi kepentingan segelintir pihak dengan merugikan rakyat disebut berburu rente. Korupsi saja sudah sangat merugikan, apalagi kartel yang daya rusaknya lebih besar. Belum lagi, pangan menyangkut kebutuhan primer masyarakat sehingga kita tidak bisa menoleransi kehadiran kartel pangan. Biaya pengeluaran untuk pangan akan menjadi lebih besar yang mengakibatkan pengaruh inflasi pun menjadi lebih tinggi. Bahkan terjadi kerentanan pangan sehingga kemiskinan, pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan, kerusakan lingkungan, dan kriminalitas menjadi masalah berat dan makin sulit dipecahkan. Ketergantungan pangan kita terhadap produk impor karena ulah para kartelis membuat sebutan negara agraris makin jauh dari kenyataan. Bukanlah hal mustahil nantinya penyebutan negara agraris hanyalah dongeng karena Indonesia sudah tercerabut dari akar kegiatan usaha masyarakat yang sejatinya. Semestinya pemerintah lebih mengembangkan agroindustri, bukan produk pertanian utama yang justru didatangkan dari negara lain. Sebelum terlambat, semestinya pemerintah mencari solusi penyelamatan masalah pangan. Penanganan masalah kartel pangan meliputi segi hukum dan organisasi. Dalam segi hukum, karena kartel (termasuk kartel pangan) merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) maka penanganannya pun butuh cara yang luar biasa pula. Kendala Mengungkap Praktik kartel melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun kita tak mudah mengendusnya. Sukarmi, komisioner KPPU mengungkapkan kendala pengungkapan praktik kartel. Pertama; bukti perjanjian di antara pelaku kartel. Faktanya, sangat jarang antarpelaku kartel membuat perjanjian tertulis. Kedua; KPPU tak memiliki kewenangan menggeledah dan menyadap, sebagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi. Padahal, praktik kartel lebih berbahaya dari korupsi. Ketiga, perlu peningkatan kualitas SDM di KPPU untuk bisa menangani dugaan praktik kartel.

Jangan malu belajar dari pemerintah Orba yang relatif berhasil menangani masalah pangan, meskipun punya kekurangan. Dulu, komoditas pangan strategis ditangani Bulog, kepanjangan tangan pemerintah, sampai tingkat terbawah. Bulog bekerja sama dengan koperasi dan lembaga lain menangani beras, kedelai, gula, dan sebagainya. Operasi pasar, strategi penentuan harga minimal/maksimal bisa dilakukan dengan baik sehingga harga pangan relatif stabil. Kondisi itu bisa membuat tenang petani dalam berproduksi dan membuat gembira rakyat karena pasokan pangan berlimbah dan harganya pun relatif stabil. Sekarang mestinya lembaga penyangga pangan kembali diaktifkan dengan merevitalisasi peran Bulog melalui good corporate governance, serta mendasarkan profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas. Strategi ke arah itu harus bisa cepat dicapai mengingat tahun ini kita punya hajat besar, yaitu pileg dan pilpres. (10)

— Purbayu Budi Santosa, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/01/16/249502

Tidak ada komentar:

Posting Komentar