Senin, 13 Januari 2014

Akses bagi Orang Miskin

Senin, 13 Januari 2014

DALAM dua kali pemerintahannya, Presiden SBY mengusung salah satu kebijakan yang ditunggu mayoritas rakyat, yaitu keberpihakan terhadap orang miskin.

Sayangnya, data terakhir terkait kemiskinan di Indonesia belum mencerminkan hal tersebut. Penurunan angka kemiskinan di negeri ini ternyata relatif lambat. Maret 2007-Maret 2013, misalnya, rata-rata penurunan jumlah penduduk miskin hanya 0,87  persen per tahun. Bahkan pada tahun terakhir, hanya 0,59 persen.

Selain lambat, secara kualitas  kemiskinan di Indonesia justru mengalami involusi. Hal itu ditunjukkan oleh semakin meningkatnya indeks keparahan kemiskinan, terutama di wilayah pedesaan yang meningkat hampir dua kali lipat sepanjang tahun 2012. Kenaikan indeks ini menunjukkan dua hal: semakin melebarnya kesenjangan antarpenduduk miskin dan semakin rendahnya daya beli kelompok miskin.

Penyebab kemiskinan
Menurut Bank Dunia, lambatnya penurunan kemiskinan beberapa tahun terakhir akibat laju peningkatan harga-harga (inflasi). Ironisnya, sepanjang 2012, tingkat inflasi wilayah pedesaan sebagai tempat bermukimnya mayoritas orang miskin (5,08 persen) lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional (4,3 persen).

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi mencapai rata-rata 6,0 persen ternyata lebih menguntungkan penduduk kelas menengah dan kaya karena lebih digerakkan sektor jasa ketimbang sektor riil.  Sektor pertanian yang jadi tumpuan hidup bagi  40  persen angkatan kerja dan  sekitar 60 persen rumah tangga miskin, misalnya, terjebak dalam pertumbuhan rendah dalam beberapa tahun terakhir.

Konsekuensinya,  jurang ketimpangan pendapatan  pun melebar. Secara statistik ini ditunjukkan  indeks Gini  yang  telah menembus 0,41 poin pada 2012. Angka  ini dapat dimaknai: 40 persen penduduk berpendapatan terendah ternyata hanya menikmati 16,88 persen dari total pendapatan yang tercipta dalam perekonomian. Sementara 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi justru menikmati 48,94 persen dari total pendapatan.

Penyusutan lahan pertanian di Jawa sebesar 30 juta hektar per tahun adalah penyebab lain. Saat ini luas kepemilikan rata-rata petani di Jawa hanya 0,3 hektar per keluarga, sedangkan di luar Jawa hanya 1,0 hektar. Adapun punahnya lahan subur karena pencemaran lingkungan dan penggunaan pestisida berlebihan.

Penyebab kemiskinan berikutnya terkait kebijakan yang salah. Penerima Hadiah Nobel, Theodore W Schulz, dalam Transforming Traditional Agriculture menerangkan konsep pertanian subsisten di negara berkembang sebagai sesuatu yang ”rasional karena meminimalisasi risiko”. Namun, agar berkembang, Schulz menganjurkan peningkatan produktivitas lewat teknologi baru yang memicu high yielding varieties yang jadi landasan Revolusi Hijau. Dampaknya, di Indonesia pada 1970-an dan 1980- an berupa peningkatan produktivitas dan ”lompatan besar” persediaan pangan seiring pertumbuhan penduduk. Saat itu, Indonesia swasembada pangan.

Sayangnya, pada saat sama terjadi pemiskinan buruh tani dan petani gurem. Bersamaan dengan pemiskinan, terjadi peningkatan gizi buruk di beberapa daerah, termasuk di kawasan yang berjuluk ”lumbung padi”. Tak heran Amartya Sen dalam Poverty and Famines (1981) menyimpulkan, persyaratan bagi pengamanan pangan masyarakat bukan pengadaan bahan pangan semata, melainkan aksesibilitas pada pangan bagi mereka yang miskin dan lapar. Aksesibilitas pada pangan terkait ketersediaan dan pemilikan lahan pertanian. Hal yang mensyaratkan land reform.

Berikan akses
Seusai Perang Dunia II, tiga negara Asia yang melakukan land reform dengan cukup berhasil adalah Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Petani penyewa berubah status jadi pemilik, sementara para landlords dianjurkan menginvestasikan hasil ganti rugi atas tanahnya ke sektor industri.

Perubahan status dari penyewa menjadi pemilik secara politik-ekonomi berdampak positif. Sebab selain lahan, pemilik baru juga memiliki infrastruktur seperti bangunan dan alat produksi.

Di India, sejak 1950-an, beberapa negara bagian juga melakukan reformasi pemanfaatan lahan dengan memperkuat posisi penyewa  serta menghapus institusi makelar. Reformasi soft ini pun mampu menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan. Pendapatan per kapita orang miskin di India beberapa tahun terakhir meningkat belasan persen (Besley dan Burges, 2003).

Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sejak 1980-an diberlakukan sistem kontrol oleh negara atas sektor pertanian. Tujuannya mengamankan keterjangkauan harga produk pertanian bagi penduduk kota yang kian meningkat. Hal ini dipertegas lewat kebijakan Structural Adjustment Program (SAP) oleh IMF pada dekade 1990-an, sebagai persyaratan mutlak pemberian bantuan dan utang kepada negara berkembang. Brandt (2000) menyebut program ini utamanya sebagai ”masalah makro politik, yaitu keharusan mundurnya negara dari sektor dan jasa pertanian serta liberalisasi kebijakan harga, pasar dan perdagangan pertanian”. Sejak itu, sektor pertanian menjadi bagian makroekonomi yang paling menderita akibat penyunatan berbagai subsidi negara.

Padahal, bagi Indonesia yang mayoritas orang miskin ada di pedesaan, tercapainya target pengurangan separuh orang miskin pada 2015 sesuai MDG (Tujuan Pembangunan Milenium) sangat bergantung pada keberhasilan pembangunan pedesaan. Sebagai pembelajaran penting dari pengalaman mancanegara, aksesibilitas atas tanah jadi syarat mutlak bagi pembangunan pertanian. Karena itu, reformasi agraria lewat intervensi kebijakan negara menjadi sebuah keharusan.

Bagi La Via Campesina, ”reformasi agraria adalah kewajiban penegakan HAM oleh negara, yaitu hak atas makanan. Pemerintah berkewajiban atas pemenuhan hak asasi paling mendasar ini dengan memberikan akses lahan, bibit, air, dan sumber-sumber produktif lainnya agar mereka bisa menyediakan sendiri makanannya” (Monsalve, 2003).

Jalan menuju pengadaan pemilikan atas lahan pertanian, lapangan kerja dan penghasilan, pengelolaan yang hemat sumber daya alam dan bentuk-bentuk perekonomian dan teknologi yang ramah lingkungan akan lebih mudah dijalani apabila orang miskin berkesempatan memperoleh pendidikan dan standar hidup yang lebih tinggi. Dengan demikian, mereka lebih mampu menyuarakan kepentingan sendiri dan terlibat dalam posisi yang setara dengan lainnya dalam wacana demi terbentuknya struktur ekonomi nasional dan internasional yang adil.

 IVAN HADAR, Direktur Institute for Democracy Education (IDE); Koordinator Target MDG 2007-2010

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140113kompas/#/7/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar