Jumat, 17 Januari 2014
Meningkatnya intensitas curah hujan akhir-akhir ini telah menimbulkan bencana di sejumlah daerah, seperti banjir dan tanah longsor. Rabu (15/1), Kota Manado, Sulawesi Utara, bahkan nyaris lumpuh setelah wilayah tersebut dan sekitarnya diterjang banjir bandang. Meluapnya beberapa sungai yang ada di wilayah tersebut secara bersamaan, membuat air tumpah menggenangi permukiman, merendam pasar, memutus jembatan, dan sebagainya. Menurut keterangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), tekanan udara rendah di wilayah perairan selatan Filipina menyebabkan pembentukan awan intensif. Akibatnya, anomali cuaca di Samudra Pasifik barat memicu hujan lebat, yang di antaranya menimbulkan banjir bandang di Manado.
Cuaca ekstrem ini juga melanda sebagian wilayah di Tanah Air. Di Jakarta, intensitas curah hujan diprediksi tetap tinggi hingga Februari nanti. Banjir yang menjadi bahaya laten kota ini pun sudah mulai menggenang pada Minggu pekan lalu, yang membuat Ibu Kota nyaris lumpuh. Padahal, hujan hanya turun seharian, bukan seminggu berturut-turut. Apa jadinya jika hujan terus-menerus berlangsung selama sepekan. Berapa pula ongkos sosial dan ekonomi yang harus diderita warga dan juga pemerintah? Bencana, apa pun bentuknya, entah itu gempa bumi, tanah longsor, ataupun banjir, pasti hanya melahirkan duka. Namun, bencana tetap bisa diprediksi, paling tidak ada langkah antisipatif yang bisa dilakukan sehingga dapat meminimalisasi kerugian atau korban jiwa.
Apalagi, secara geografis, Indonesia merupakan negeri rawan bencana. Selain dikelilingi gugusan gunung api, negeri ini disirami sinar matahari yang melimpah serta curah hujan yang tinggi. Hal itu sebenarnya anugerah karena membuat tanah kita subur. Namun, di sisi lain, juga rawan terjadi bencana. Kondisi ini merupakan fakta yang harus diterima. Suka atau tidak suka, di balik kesuburan tanahnya, negeri ini menyimpan “sekam” yang sewaktu-waktu dapat “meledak”. Gempa yang disertai tsunami di Aceh yang terjadi 2004 lalu merupakan salah satu contoh betapa dahsyatnya bencana di negeri ini. Atau jika mau merunut jauh lagi ke belakang adalah meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda pada 1883 yang menelan ratusan ribu korban jiwa.
Datangnya gempa memang tak bisa diprediksi, begitu pula dengan letusan gunung api, tapi bukan berarti itu tak bisa dipelajari. Jepang, misalnya. Seperti halnya Indonesia, negeri Sakura itu juga rawan bencana, terutama gempa. Namun, bukan berarti mereka pasrah pada nasib dan berserah diri. Mereka justru mau bersahabat dan mempelajari kondisi alam negerinya sehingga melahirkan ribuan ahli gempa dan vulkanologi, serta arsitek dan insinyur-insinyur andal yang mampu mendesain struktur bangunan sesuai kondisi alam negeri itu.
Lantas, bagaimana di Indonesia? Berapa banyak ahli vulkanologi di negeri ini? Berapa banyak anak muda yang tertarik mempelajari gunung api, gempa, struktur tanah, dan sebagainya? Memang ada beberapa perguruan tinggi yang memiliki jurusan geografi, geologi, dan semacamnya, tapi peminatnya tak sebanding dengan jurusan lain seperti hukum atau ekonomi. Selain itu, lulusannya pun belum tentu bekerja sesuai bidangnya. Hal itu antara lain lantaran pemerintah tak pernah punya visi misi pendidikan yang jelas. Selain tak adanya link and match, pendidikan di negeri ini hanya mencetak sarjana-sarjana yang berorientasi materi, yang pola pikirnya hanya untung-rugi.
Mereka, meminjam istilah Romo Mangunwijaya, kurang diajari hal-hal yang bersifat humanis. Lihat saja maraknya pembalakan liar, pembangunan vila atau permukiman yang mengabaikan aspek lingkungan, pengerukan dan penjualan pasir laut, justru dilakukan oleh “orang-orang pintar” yang pola pikirnya hanya berkutat bagaimana meraup laba sebanyak-banyaknya.
Negeri ini memang rentan bencana, selain karena kondisi lingkungan alamnya, juga dipicu oleh tingkah polah manusianya. Mereka tak pernah berpikir merawat dan menjaga alam, tapi malah mengeksploitasi demi kepentingan perutnya. Jadi, jangan salahkan alam jika mereka pun “murka”.
http://koran-jakarta.com/?3479-bersahabat%20dengan%20alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar