Selasa, 14 Januari 2014
JAKARTA – Masalah kesenjangan dan tingginya angka kemiskinan tampaknya belum bisa terselesaikan dengan baik.
Kesulitan yang dihadapi Indonesia dalam pengentasan masyarakat dari kemiskinan bervariasi, mulai dari terbatasnya kebutuhan dasar hingga keterbatasan kemampuan masyarakat miskin untuk naik kelas sehingga sulit keluar dari belenggu kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS), minggu lalu, menyampaikan jumlah penduduk miskin meningkat dari 28,07 juta orang pada Maret 2013 menjadi 28,55 juta orang pada September 2013 atau naik 480 ribu orang sehingga secara persentase angka kemiskinan meningkat dari 11,37 persen menjadi 11,47 persen. Dari segi lokasi, jumlah penduduk miskin terbesar ada di wilayah perdesaan, yakni 17,92 juta, sementara di perkotaan ada 10,63 juta orang.
Kenaikan angka kemiskinan itu diduga akibat kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada Juli 2013.
Sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM subsidi, inflasi sepanjang 2013 diproyeksikan pada kisaran 5,5–6 persen, lalu pemerintah merevisi inflasi menjadi 7,2 persen setelah kenaikan harga BBM. Namun, seperti diketahui, pada 2013, inflasi mencapai 8,3 persen, jauh di atas proyeksi pemerintah.
Secara umum, pemerintah menggunakan instrumen Bantuan Langsung Sementara (BLSM) sebagai program kompensasi kenaikan harga BBM. Program ini diberikan selama empat bulan, dan setiap bulan diberikan 150 ribu rupiah. Tampaknya program tersebut tidak berhasil meminimalisasi dampak kenaikan harga terhadap angka kemiskinan.
Di samping itu, kompensasi beras miskin (raskin) melebihi kuota, target jumlah penerima 15,5 juta rumah tangga ternyata melebar menjadi 34,697 juta rumah tangga.
Dengan melihat berbagai hambatan di lapangan, banyak pihak menyangsikan pemerintah bisa menekan angka kemiskinan. Bahkan BPS yang memotret angka kemiskinan pesimistis untuk bisa menurunkan 1 persen di tahun 2014.
“Kita pada posisi yang susah menurunkan angka kemiskinan. Trennya untuk menurunkan 1 persen. Makin lama makin susah, jadi posisi ketika tinggal kerak saja sudah tidak punya apa-apa, " ujar Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Wynandin Imawan.
Kesenjangan
Bahkan selain bertambahnya angka kemiskinan di Indonesia, tingkat ketimpangan distribusi pendapatan kekayaan masyarakat (gini ratio) belum berubah dari dua tahun lalu. Hingga kini, gini ratio Indonesia masih di level 0,41. Angka tersebut merupakan rasio tertinggi Indonesia sepanjang sejarah.
Wynanding mengaku untuk memperbaiki rasio gini lebih sulit daripada mengurangi tingkat kemiskinan mengingat jalan keluarnya adalah meningkatkan pendapatan kelas paling bawah yang tidak diikuti dengan akses ke faktor produksi.
“Dia (masyarakat miskin) tidak punya keterampilan maupun modal yang cukup. Paling kan dia mengandalkan tenaga kalau dia mau bekerja, katakanlah misalnya 40 jam sehari, " urainya.
Wakil Menteri Keuangan II, Bambang PS Brodjonegoro, mengakui angka kemiskinan sulit diturunkan karena adanya masalah global yang tidak bisa diprediksi sebelumnya.
Kesenjangan ekonomi masyarakat yang masih cukup lebar juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk meminimalisasinya meskipun harus disadari seluruh negara di dunia mengalami gini ratio yang meningkat akibat industri yang lebih padat modal sehingga peningkatan kekayaan orang kaya lebih tinggi dari perbaikan di orang miskin.
Untuk meminimalisasi tersebut, sambung dia, kuncinya terletak pada alokasi dan distribusi anggaran yang benar. Anggarannya harus untuk keperluan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, bukan sekadar bantuan sosial tapi tidak menyentuh rakyat miskin. "Alokasinya harus diawasi dengan ketat supaya jatuh pada pihak yang tepat, " jelasnya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Armida S Alisjahbana, mengatakan untuk mengatasi kesenjangan masyarakat, perbaikan infrastruktur dasar dan pelayanan dasar harus bisa tuntas sesuai dengan target pada pemerintahan berikutnya.
Adapun infrastruktur dasar yang harus dicapai adalah infrastruktur untuk air bersih dan sanitasi di perdesaan dan kantong kemiskinan lainnya.
Untuk pelayanan dasar, yang harus dipenuhi adalah ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan di perdesaan. "Kita harus mapping ke depan dengan infrastruktur dasar yang harus menyentuh langsung dengan kemiskinan. Tentunya itu bisa masuk untuk mendorong sektor pertanian, perikanan, dan peternakan, " imbuhnya.
Tidak Merata
Guru Besar Universitas Brawidjaya, Ahmad Erani Yustika, mengatakan dengan melihat pertumbuhan yang terjadi saat ini, wajar jika kesenjangan kemiskinan semakin lebar. Hal itu bisa dilihat dari pertumbuhan sektor nontradable yang lebih tinggi dibandingkan sektor tradable.
Pertumbuhan yang tidak merata ini membuat kesejahteraan rakyat menjadi stagnan dan berpotensi meningkatkan kesenjangan pendapatan yang terlihat dari gini ratio yang terus meningkat.
Kondisi itu, tambah dia, dapat membuat ketimpangan ekonomi antarwilayah semakin jauh dari target pemerataan pembangunan. Untuk itu, agar kesenjangan tidak semakin lebar, pertumbuhan sektor pertanian harus ditingkatkan sehingga kebergantungan pada impor pangan bisa dikurangi.
Sektor ekonomi pertanian dan industri padat karya harus dibangun sebagai satu kesatuan sebagai titik tumpu perekonomian nasional karena gerbong ekonomi harus mengangkut semua pelaku ekonomi, bukan hanya segelintir orang.
Tetapi proteksi dan subsidi merupakan kebijakan yang sah, bahkan diterapkan oleh semua negara. Jika memang salah sasaran, solusinya bukan menghilangkan, tapi merumuskan secara lebih tepat agar efektif. Fia/E-9
http://koran-jakarta.com/?3275-kesenjangan%20pendapatan%20masyarakat%20makin%20tajam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar