Senin, 13 Januari 2014

Reformasi Seleksi Pejabat

Senin, 13 Januari 2014

MAHKAMAH Konstitusi meluruskan model seleksi hakim agung yang melibatkan DPR. DPR tinggal ”menyetujui” atau ”menolak hakim” agung.
Itulah putusan uji materi undang-undang pertama yang diambil MK pascaskandal memalukan yang dilakukan Ketua MK Akil Mochtar. Putusan uji materi UU Mahkamah Agung itu juga dikeluarkan MK setelah DPR menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 yang berisi Perubahan UU MK.

Dengan putusan MK itu, Komisi Yudisial tidak perlu lagi mengajukan tiga kali jumlah calon hakim agung untuk satu kekosongan kursi hakim agung sebagaimana diharuskan UU Mahkamah Agung. Setiap kekosongan satu calon hakim agung, Komisi Yudisial mengajukan seorang calon hakim agung kepada DPR. Terserah DPR apakah akan menerima atau menolak hakim agung usulan Komisi Yudisial. Jika ditolak DPR, Komisi Yudisial harus mengajukan calon hakim agung baru. Beban berat untuk mencari calon hakim kini tentunya berada di pundak Komisi Yudisial yang bertanggung jawab penuh untuk menyeleksi calon hakim agung.

Reformasi seleksi pejabat publik yang diluruskan MK itu patut disambut baik. Dengan hanya memberikan opsi kepada DPR untuk ”menerima” atau ”menolak”, maka alasan penerimaan atau penolakan menjadi lebih jelas dan terang. Argumentasi anggota DPR yang menerima dan menolak juga akan bisa dilihat oleh publik. Inilah wujud transparansi publik. Sebelum sampai pada putusan menerima atau menolak, DPR bisa saja melakukan semacam hearing atau dengar pendapat umum dengan sang calon hakim agung.

Dalam praktiknya selama ini, ketika DPR memilih pejabat publik, misalnya komisioner atau hakim agung, pertimbangan DPR untuk memilih seorang calon juga tidak jelas. Lebih-lebih jika terpilih atau tidaknya seseorang calon ditentukan melalui voting tertutup. Calon yang dinilai publik memiliki rekam jejak baik justru tidak dipilih oleh DPR. Sebaliknya, karena pertimbangan politik, calon yang justru miskin rekam jejak dan kompetensi mendapat suara terbanyak di DPR.

Setelah pemilihan hakim agung direformasi dengan memangkas kewenangan DPR memilih dan hanya menyetujui atau menolak, kita berharap pemilihan pejabat publik lainnya pun ditata ulang. Misalnya saja pemilihan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan komisioner Komisi Pemilihan Umum akan lebih baik jika dilakukan serupa dengan model pengisian hakim agung. Kewenangan DPR tidak lagi pada seleksi, tetapi pada konfirmasi.

Reformasi yang telah berjalan 15 tahun harus memaksa kita untuk merefleksikan kembali apakah model seleksi pejabat publik selama ini sudah sejalan dengan sistem presidensial atau malah bergerak ke arah kuasi sistem parlementer.

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140113kompas/#/7/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar