Jumat, 04 April 2014

UU Perdagangan Mampu Intervensi Harga 28 Komoditas

Kamis, 3 April 2014

Jakarta - Dengan disahkannya Undang-Undang Perdagangan, maka pemerintah diberikan hak untuk melakukan intervensi harga terhadap 28 komoditas. Aksi tersebut bisa dilakukan oleh pemerintah tatkala harga pada 28 komoditas tersebut mengalami kenaikan. Hal tersebut seperti diungkapkan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Srie Agustina dalam acara Diseminasi UU No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan di Jakarta, Rabu (2/4).

“Dengan adanya UU Perdagangan maka pemerintah bisa melakukan intervensi harga apabila terjadi kegagalan. Pada dasarnya perdagangan dalam negeri tidak perlu diatur akan tetapi nyatanya di lapangan kerap kali terjadi asimetris sehingga menimbulkan perdagangan yang tidak sehat. Maka dari itu, perdagangan dalam negeri perlu diatur,” ungkap Srie.

Adapun 28 komoditas tersebut dibagi menjadi dua yaitu 18 barang pokok dan 10 barang penting. Komoditas barang pokok antara lain beras, telur, daging ayam, kedelai, susu, minyak goreng, mentega, tepung terigu, daging sapi, jagung, garam, gula kristal putih, bawang merah dan putih, cabai, ikan (bandeng, kembung dan tongkol), obat generik dan gas LPG 3 kg. Sementara komoditas barang penting antara lain besi baja konstruksi, baja ringan, semen, aspal, pupuk, BBM dan gas, rotan, triplek, benih (jagung, padi, kedelai).

Menurut dia, 28 komoditas yang harganya bisa diintervensi oleh pemerintah untuk mengembalikan harga ke angka yang normal. Saat ini, pemerintah hanya bisa melakukan intervensi harga beras dengan cara operasi pasar yang dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (Bulog). “Adanya UU ini maka nanti bisa diatur barang kebutuhan pokok atau barang penting mana saja yang bisa dikendalikan dalam UU ini. Kita baru memverifikasi 28 komoditas. Namun ada tambahan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk harga ikan seperti ikan tongkol, ikan kembung dan ikan kembung,” ucapnya.
Ia mengatakan kebijakan harga yang berjalan normal akan efektif apabila ada dana dari pemerintah. Nantinya, aturan tersebut memberikan kewenangan bagi pemerintaj untuk bisa membeli dan menjual barang dengan harga yang jauh lebih murah dari pada harga pasar. Hal itu dilakukan untuk membuat harga kembali normal. “Kalau terjadi peningkatan harga, maka nanti pemerintah mengajukan dana ke DPR lewat dana APBN. Mudah-mudahan dana untuk intervensi harga telah siap sehingga mudah untuk dicairkan,” jelasnya.

Pada dasarnya, sambung Srie, harga komoditas tidak akan mengalami kenaikan ketika tidak terjadi apa-apa. Namun kalau terjadi kejadian kenaikan yang dilakukan disengaja dengan cara menimbunnya maka itu sudah melanggar hukum. “Pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu sehingga terjadi kelangkaan maka sanksinya adalah penjara 5 tahun dan denda maksimal Rp50 miliar. Begitu juga dengan memanipulasi barang,” tukasnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Aviliani menilai pemerintah Indonesia diminta mengintervensi harga pangan dalam negeri untuk menjaga stabilitas harga, salah satunya mengembalikan peran Perum Bulog. Ia mengatakan, Perum Bulog berguna untuk mengontrol harga pangan dan menjaga ketersediaan pangan di dalam negeri.

Dia mencontohkan, jika ada pangan impor yang masuk ke Indonesia, harganya harus disesuaikan dengan ketentuan yang telah ditetapkan Perum Bulog. Menurut dia, Indonesia saat ini belum bisa menjadi pemimpin dalam mewujudkan ketahanan pangan di tingkat kawasan Asia-Pasifik karena selama ini masih tergantung pada impor pangan dan belum bisa menjadi negara peng-ekspor. “Menjaga harga dalam negeri sendiri susah, apalagi untuk negara lain,” katanya.

Aviliani mengatakan, Indonesia perlu mencari alternatif pangan pokok selain beras untuk mencapai ketahanan pangan di tingkat kawasan Asia Pasifik. “Kita bisa merubah ubi atau singkong menjadi alternatif bahan makanan pokok,” katanya. Menurut dia, hal itu merupakan bagian dari salah satu strategi yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam melindungi produksi pangan dalam negeri, yaitu sosialiasai kepada masyarakat bahwa Indonesia memiliki bahan pangan lain selain beras.
Dia mengatakan, ketergantungan impor pangan Indonesia harus segera dikurangi, karena akan berdampak pada meningkatnya inflasi dalam negeri karena nilai rupiah terus menurun. “Itu dari sisi demand, dari sisi suply pemerintah harus mengatur impor sesuai kebutuhan jangan sampai mematikan produksi dalam negeri,” ujarnya.

http://www.neraca.co.id/article/40180/UU-Perdagangan-Mampu-Intervensi-Harga-28-Komoditas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar