Kamis, 24 April 2014
Meski semua masih harus menunggu proses hukum selanjutnya, tak pelak lagi, penetapan mantan Direktur Jenderal Pajak, Hadi Purnomo, jelas menyentakkan seluruh bangsa.
Apalagi tersangka adalah Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, sebuah lembaga yang seharusnya di tangan orang-orang yang bersih. Penetapan ini tentu juga menyentakkan yang bersangkutan karena persis pada hari terakhir bekerja memimpin BPK.
Mereka yang terpilih menjabat, apalagi memimpin lembaga audit keuangan, tentu saja integral, jujur, dan bersih. Tidak sembarangan orang yang memimpin lembaga tersebut.
Maka, ketika Ketua BPK ditetapkan sebagai tersangka, masyarakat seperti disamber geledek di siang bolong. Seluruh rakyat mengelus dada mendengar dan melihat pengumuman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkan Hadi Purnomo sebagai tersangka.
Kekagetan rakyat tentu masuk akal karena, selama ini, BPK dan KPK sepertinya bahu-membahu, saling menyuplai informasi terutama lembaga pimpinan Hadi Purnomo itu banyak memasok kebocoran keuangan negara.
Dari informasi BPK pula, KPK menelusuri arus kebocoran tersebut. Ketua KPK, Abraham Samad, dan Ketua BPK, Hadi Purnomo, dalam sejumlah foto bergandengan tangan seakan menggambarkan satu hati, satu ketetapan untuk memberantas korupsi.
Namun, ternyata jauh sebelum menjabat Ketua BPK, Hadi ditelusuri "mitra"-nya, KPK. Penelusuran itu dikerjakan sejak tahun lalu dan akhirnya dengan berbagai sumber kuat akhirnya mantan pucuk pemimpin Direktorat Pajak ini ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan Hadi sebagai tersangka seakan melengkapi secara sempurna kasus kejahatan di direktorat jenderal tersebut. Inilah kasus kejahatan dari hilir ke hulu atau sebaliknya yang melingkungi Ditjen Pajak.
Tentu belum hilang dari ingatan ketika Gayus Tambunan atau Dhana Widyatmika yang notabene hanya pegawai bawahan begitu luas peran yang dimainkan sehingga negara dirugikan dalam jumlah besar. Pada waktu kasus kedua pegawai ini diputus pengadilan, hampir semua orang tidak percaya mereka bermain sendiri tanpa melibatkan atasan.
Sebagai bawahan tentunya Gayus dan Dhana memiliki supervisi atasan dan atasannya pun ada pengawasnya. Jadi, nalar sehat masyarakat menduga, keduanya hanyalah pion.
Namun, ketika itu, pejabat Ditjen Pajak membantah ada keterlibatan petinggi-petinggi. Kini, penetapan mantan Dirjen Pajak, Hadi Purnomo, sebagai tersangka seolah menjawab keraguan-keraguan tersebut. Jadi, ibarat sungai kini lengkap sudah "pemain" di pajak, lengkap dari hilir hingga hulu. Ini sungguh menyedihkan dan memprihatinkan, level teratas yang seharusnya memberi teladan, malah memberi contoh buruk. Ya sekali lagi ini harus menunggu proses hukum.
Akan tetapi, kebiasaan KPK bila sudah menetapkan seseorang sebagai tersangka tak pernah salah. Mereka yang ditetapkan KPK sebagai tersangka berakhir di bui.
Karier cemerlang Hadi jelas bukan hanya tercoreng, tetapi terjerembap ke lembah terdalam. Dengan usianya yang telah mencapai 67, bisa saja, andai benar kasus ini ke persidangan, dia akan menghuni penjara sampai akhir hayat. Apalagi diduga ancaman hukumannya bisa mencapai seumur hidup.
Indonesia kembali harus menerima kenyataan pahit. Putra-putrinya yang disangka berkualitas dan bagus, ternyata tidak demikian adanya. Semakin banyak saja "anak-anak"-nya yang terlibat korupsi. Mereka menambah panjang deretan koruptor. Tambah banyak nilai kerugian negara. Rasanya akan semakin sulit memberantas korupsi. Apalagi bila melihat politik uang yang begitu marak dalam pemilihan legislatif, 9 April lalu.
Semua yakin hal itu akan tetap terulang pada Pemilihan Presiden, 9 Juli nanti. Uang menjadi sumber segala kehancuran moral dan etika bangsa. Ke depan, akan semakin sulit memperbaiki kondisi budi pekerti bangsa.
Semua diukur dengan uang dan seluruhnya menggunakan fulus. Awal dan akhir adalah uang. Fulus menjadi tujuan dari segala tujuan. Akhirnya, uang adalah segala-galanya. Dari situlah sumber keruntuhan moral bangsa.
http://www.koran-jakarta.com/?10663-pajak,%20hilir%20hingga%20hulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar