Minggu, 27 April 2014
Bagaikan petir di siang bolong, semua orang terkejut mendengar Hadi Poernomo ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam sebuah kasus yang terjadi 10 tahun lalu, ketika beliau masih menjabat Dirjen Pajak di Departemen Keuangan.
Hadi Poernomo adalah Ketua BPK, yang pada hari itu pensiun dan sedang berulang tahun ke-67 (masa pensiun PNS memang selalu dipaskan dengan tanggal lahirnya). Banyak yang tidak menyangka, dan saking tidak menyangkanya beberapa pengamat atau pakar lalu membuat teori sendiri, yaitu bahwa tuduhan KPK sangat bercorak politis. Garagaranya, Hadi Poernomo sebagai ketua BPK adalah orang yang bertanggung jawab dalam pengungkapan kasus Bank Century.
Maka berkembanglah perdebatan-perdebatan seru dan panas di televisi yang disutradarai olah para produser stasiunstasiun televisi yang bersangkutan, yang pokoknya seru dan ramai, tetapi belum tentu dimengerti oleh orang awam seperti saya. Kebiasaan menggelembungkan berita-berita aksi antikorupsi yang dilakukan oleh KPK sudah menjadi kebiasaan sejak KPK berdiri. Hasilnya masyarakat jadi tahu secara pasti hasil kerja KPK yang konkret dan tidak pandang bulu (walaupun kata sebagian politisi masih ada juga bulu-bulu yang tidak terlihat oleh KPK).
Suatu upaya yang sudah dijalankan sejak zaman Presiden Soekarno sampai zaman Presiden Soeharto, tetapi baru sekarang mulai terasa hasilnya. Tetapi bagaimana sebenarnya kehendak masyarakat? Istri saya yang tidak terlalu buta politik (yang sebelum pemilu sering berdebat dengan saya tentang pilihan partai politiknya, yang tidak sesuai dengan aspirasi saya, suaminya) suka juga mendengarkan berita-berita KPK, tetapi malas kalau berita-berita itu sudah dibahas berlarut-larut di televisi. Dia lebih baik memindahkan channel untuk menonton kontes nyanyi Indonesian Idol. Lebih menarik untuk ditonton, katanya.
*** Pemberantasan korupsi memang sangat penting untuk menegakkangood governancedi negara ini. Sedangkan good governance adalah salah satu syarat utama dari penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Walaupun demikian, pemberantasan korupsi bukan satu-satunya sarana untuk mencapai good governance.
Sudah sejak tahun 2003 lalu, pemerintah-pemerintah dari berbagai negara menyumbangkan dana secara rutin kepada sebuah organisasinirlaba di Indonesia yang bernama Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan atau yang lebih dikenal dengan ”Kemitraan” (Partnership). Kebetulan saya, selaku dekan di Fakultas Psikologi UI, pada 2005-2007 pernah mendapat kepercayaan dari lembaga itu untuk membenahi sistem rekrutmen dan seleksi calon siswa Sekolah Polisi Negara (SPN) yang pada waktu itu ditengarai sebagai sumber KKN yang pada gilirannya menyebabkan sulitnya dicapai kualitas personel maupun organisasi Kepolisian RI yang baik.
Sistem rekrutmen dan seleksi yang dikembangkan oleh Fakultas Psikologi UI tersebut kemudian digunakan untuk oleh Biro Psikologi Mabes Polri dalam merekrut dan menyeleksi calon-calon siswaSPN(pendidikancalonbintara polisi), bahkan kemudian digunakan juga di Akpol (pendidikan calon perwira Polri). Tentu saja masih banyak proyek Kemitraan yang lainyangmelibatkanberbagaiuniversitasdan lembaga penelitian maupun institusi yang lain, yang tujuannya adalah untuk memperbaiki sistem administrasi dan birokrasi pemerintahan, di luar upaya pemberantasan korupsi.
Walau begitu, hasilnya belum bisa langsung dirasakan oleh masyarakat, walaupun sedikit demi sedikit proses perbaikan di berbagai sektor sudah mulai terasa. Pemimpin-pemimpin tingkat lokal (wali kota, bupati, gubernur) mulai bermunculan. Tetapi memang proses reformasi ini membutuhkan waktu lama. Harus diusahakan selangkah demi selangkah.
*** Tetapi ketika penantian akan hasil dari proses yang panjang itu selalu diwarnai debatdebat yang tidak jelas, yang membikin orang tambah pusing dan stres, lama-kelamaan kesabaran masyarakat akan habis, padahal reformasi masih dalam proses. Itulah sebabnya kaos bergambar Pak Harto dengan kata-kata ”Piye Kabare? Rak enak jamanku to?” jadi laku dan banyak yang memakainya. Yang didambakan masyarakat bukanlah hanya pemberantasan korupsi, melainkan bukti nyata di lapangan.
Sudah lama masyarakat menunggu jalanjalan diperbaiki, jalan-jalan tol dibangun untuk melancarkan arus barang, pelabuhan-pelabuhan laut dan bandara dimodernkan; gedung-gedung sekolah dibangun berikut guru-gurunya (yang profesional dan digaji dengan baik), rumah-rumah sakit dan puskesmas juga dikembangkan berikut tenaga medis dan para medisnya sampai ke pelosok-pelosok Indonesia; harga-harga sembako distabilkan dan dibuat terjangkau, serta daya beli masyarakat ditingkatkan, dsb.
Itulahsemuayangmenyebabkan ”kerinduan” masyarakat kepada zaman Orde Baru. Beberapa partai dan tokoh politik ikut berlomba dalam Pemilu 2014 dengan menawarkan nuansa Orde Baru dan hasil hitung cepat pemilu legislatif menunjukkan bahwa tawaran itu cukup diminati, terbukti dengan perolehan suara yang cukup signifikan dari partai-partai tertentu. Tetapi tentu saja kebanyakan orang tidak menginginkan untuk kembali ke zaman Orde Baru. Kita semua pernah mengalami betapa sulitnya mengemukakan pendapat secara bebas di era itu.
Kita juga tahu betapa banyak kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat, tanpa ada daya pada masyarakat untuk mengkritik, apalagi menghentikannya. Sekarang korupsi dan salah urus memang masih terjadi, tetapi sekarang kita bisa mengkritiknya dan mendesak sedemikian rupa, sehingga sedikit demi sedikit pemerintah didorong ke arah good governance, baik melalui upaya KPK maupun Kemitraan, ataupun institusi lainnya.
Tetapi suasana psikologi massa dari masyarakat Indonesia harus dijaga agar selalu positif, asertif, dan penuh pengharapan, sehingga mental bangsa ini terus bersemangat dan optimis, generasi mudanya juga tetap optimis sehingga tidak menyalurkan frustrasinya ke tawuran. Itulah yang dinamakan psikologi positif. Sangat berbeda dari psikologi negatif yang malah mendepresikan masyarakat dengan diskusi-diskusi yang membuat negara ini tampak makin terpuruk.
http://koran-sindo.com/node/384916
Tidak ada komentar:
Posting Komentar