Selasa, 07 Januari 2014

Perum Bulog Untung hingga Rp 350 Miliar

Senin, 6 Januari 2014

JAKARTA, KOMPAS —  Perum Bulog sepanjang 2013 membukukan keuntungan bersih sebesar Rp 350 miliar. Keuntungan tersebut merupakan keuntungan konsolidasi antara kinerja penugasan (PSO) dan komersial.

Menurut Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso, Minggu (5/1), di Jakarta, kontribusi keuntungan dari kegiatan komersial atau bisnis Perum Bulog lebih besar dari PSO. Dari total keuntungan Rp 350 miliar, kontribusi dari PSO hanya Rp 7 miliar.

Sutarto menggarisbawahi bahwa untung Rp 350 miliar itu belum menghitung biaya margin yang mestinya didapat Perum Bulog dari penugasan pemerintah. ”Bila biaya margin diberikan pada Bulog, keuntungan Bulog bisa naik menjadi Rp 1,3 triliun sampai Rp 1,5 triliun,” katanya.

Tahun 2012 Perum Bulog tidak untung karena keuntungan Rp 250 miliar digunakan untuk menutupi kekurangan bayar hingga Rp 400 miliar.

Terkait biaya margin, sudah ada pembicaraan dengan Kementerian BUMN di mana untuk Bulog disepakati sebesar Rp 3,5 miliar. Namun sejak 2011 hingga sekarang Bulog belum bisa mendapat biaya margin.

Berbeda dengan biaya margin yang diterima perusahaan BUMN lain berkisar 7 persen sampai 9 persen. Untuk industri pupuk nasional sebesar 10 persen. ”Biaya margin Bulog sampai saat ini masih 0 persen,” ungkapnya. Biaya margin merupakan selisih antara realisasi penggunaan anggaran Bulog dan anggaran dari pemerintah yang diberikan kepada Bulog melalui tugas PSO dalam bentuk harga pembelian pemerintah.

Sebelum Bulog diaudit oleh BPK, selisih itu disebut dengan delta, masuk dalam keuntungan Bulog. Namun sejak diaudit BPK, delta tersebut tidak ada lagi karena harus dikembalikan kepada pemerintah. Bulog memperjuangkan itu sejak 2011 sampai sekarang belum juga berhasil.

Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan stabilisasi harga pangan terutama beras dapat dicapai karena produksi dalam negeri meningkat. Di sisi lain stok beras Bulog cukup untuk melakukan intervensi.

Oleh karena itu tidak terjadi jurang antara permintaan dan ketersediaan beras. Tahun 2014 situasi itu akan terus dijaga. Kalau nanti memang ada celah antara pasokan dan kebutuhan, pihaknya akan membuka impor. ”Meski begitu produksi dalam negeri tetap diprioritaskan,” katanya.

Pengamat ekonomi Aviliani mengatakan, stabilisasi harga pangan untuk menekan laju inflasi pangan terutama beras sebaiknya melibatkan pemerintah daerah. Selama ini daerah kurang dilibatkan dalam menjaga inflasi.

Kontribusi pemda bisa dalam bentuk menanggung biaya transportasi. Inflasi beras kalau tidak dijaga dapat menyumbang hingga 25 persen dari total inflasi. Kontribusi utamanya akibat masalah distribusi dan transportasi.

Biaya pengiriman beras ke daerah-daerah mahal. Tidak jarang ongkosnya dua kali lipat. Bila daerah dilibatkan menanggung biaya transportasi, harga beras di tingkat konsumen di daerah tidak akan tinggi. (MAS)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140106kompas/#/18/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar