Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa Bulog didirikan untuk menjadi lembaga kedaulatan atau ketahanan pangan nasional yang bisa dan kuat menjamin terwujudnya sistem pangan nasional. Bahkan Bulog juga menjadi tonggak penting untuk meningkatkan kesejahteraan petani, mengingat produsen pangan nasional pada umumnya adalah petani, yang secara garis besar merupakan petani miskin. Karena itu, Bulog merupakan institusi strategis dalam pengembangan logistik pangan dalam arti yang seluas-luasnya.
Rancang bangun logistik peninggalan Belanda perlu diperbarui atau mungkin juga ditinggalkan, mengingat rancang bangun logistik yang diciptakan Belanda bertujuan berbeda dengan rancang bangun logistik yang diperlukan Indonesia merdeka. Kita bisa mengamati bahwa rancang bangun logistik, seperti pusat-pusat produksi, jalan, dan pelabuhan, dirancang Belanda untuk bisa membawa hasil produksi Nusantara secepatnya sampai di Belanda. Di sana, bermacam bahan baku yang diproduksi di Nusantara diolah menjadi beragam produk akhir yang bernilai tinggi. Bahan-bahan dari Nusantara tersebut menyebar ke seluruh Eropa, dari rempah-rempah, kopi, hingga kakao. Jadi, pada masa kolonial, pembangunan di Indonesia dirancang untuk kesejahteraan Belanda.
Karena itu, wajar apabila pas kita harus mengumpulkan hasil-hasil pertanian seperti gabah untuk mengisi gudang-gudang milik Bulog, pasti akan menghadapi banyak kesulitan. Pertanyaannya, mengapa Thailand dan Vietnam bisa? Mengapa Brasil dan AS bisa? Tentu jawabannya bukan magic, bukan pula langsung mudah. Semuanya hasil investasi pemikiran, usaha, dan kebersamaan, di atas tekad ingin merdeka dan berdaulat di bidang pangan.
Pada 2005-2007, saya pernah mengajak Bulog membuat rancang bangun demi kemerdekaan dan kedaulatan pangan yang dimaksud. Pada waktu itu berfokus pada padi dan wilayah persawahan. Padi merupakan industri pangan yang sangat besar hasil kerja jutaan petani kecil. Nilai gabah dengan turunannya bisa lebih besar daripada nilai minyak sawit per unit lahan per tahun. Dengan luas fungsional lebih dari 11 juta hektare, persawahan ini lebih luas daripada luas baku perkebunan kelapa sawit. Pertanyaannya, mengapa industri besar padi ini tidak dibesarkan? Atau dibiarkan apa adanya dan akhirnya merana sebagaimana diperlihatkan oleh kondisi kesejahteraan para petaninya dan gambaran tradisional dari penggilingan berasnya di sepanjang Pantura Jawa.
Konsep yang dikembangkan adalah menciptakan kawasan-kawasan industri berbasis padi. Jadi, konsepnya bukan meloncat ke pengadaan gabah petani, melainkan bagaimana menciptakan nilai tambah sistem persawahan dan hasilnya mengalir sesuai dengan pertambahan nilainya. Dengan rancangan per unit kawasan industri tersebut 10 ribu hektare, kita bisa membangun paling tidak lima industri berbasis padi: penggilingan padi modern dengan skala 500 ton per hari, pembangkit listrik tenaga sekam kapasitas kurang-lebih 5-9 megawatt, pabrik minyak goreng dari bekatul, pabrik tepung beras, dan pabrik batu bata tahan api terbuat dari abu sekam yang tinggi kadar silikanya.
Kawasan industri berbasis padi per 10 ribu hektare ini disuplai oleh para petani yang bergabung dalam Badan Usaha Milik Petani (BUMP). Collective action dari BUMP-BUMP ini adalah badan usaha yang dipimpin Bulog. Waktu itu dirancang bernama PT Padi Energi Nusantara, di mana Bulog diusulkan sebagai pemegang saham utama. Saya tidak mengerti di balik mundurnya Bulog untuk mengerjakan rancang bangun ini. Saya istilahkan waktu itu Bulog sebagai kapal induk agroindustri berbasis produksi dalam negeri. BUMN-BUMN di bidang agro lainnya berperan sebagai kapal-kapal ekonomi lainnya yang menjalankan tugas masing-masing.
Sebagai ilustrasi, di Indramayu saja kita akan memiliki 20 unit BUMP untuk mengekonomikan luas wilayah sekitar 200 ribu hektare. Nilai investasi per unit BUMP pada perhitungan 2006 sekitar Rp 400 miliar untuk membangun industri di atas, termasuk konsolidasi dan rancang bangun ulang sistem irigasi yang sudah ketinggalan zaman. Jadi, dalam tempo kurang-lebih 5 tahun, di Indramayu akan tertanam Rp 8 triliun. Kawasan persawahan akan berubah total menjadi kawasan ekonomi yang menarik dan menjadi sumber pertumbuhan baru untuk Indonesia. Karena itu pula masalah pengadaan gabah sebagaimana yang dikeluhkan sekarang akan hilang dengan sendirinya.
Apakah sekarang sudah terlambat? Tidak ada istilah terlambat daripada tidak diciptakan sama sekali. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan akan terjadi? Apakah akan menunggu seluruh area persawahan tergusur? Apabila itu pilihan kita, anak-cucu kita bukan lagi akan mengatakan pengadaan gabah langsung dari petani itu sulit, tapi mereka akan mengatakan bahwa kesempatan itu sudah hilang alias sawah-sawah sudah hilang dari muka bumi Jawa Dwipa! *
Agus Pakpahan,
Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan 2005-2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar