Senin, 25 Mei 2015
JAKARTA, suaramerdeka.com - Badan Urusan Logistik (Bulog) dinilai selalu kesulitan dalam memenuhi target pengadaan beras pemerintah. Penyebabnya, harga beras di pasaran selalu lebih tinggi ketimbang patokan pemerintah seperti tercantum dalam instruksi Presiden (Inpres).
“Inpres perberasan memang selalu problematik mulai dari pemerintahan SBY, sampai pemerintah Jokowi,” ujar Peneliti Senior Pusat Studi dan Kawasan Universitas Gadjah Mada Mochammad Maksum, baru-baru ini.
Jika Bulog tidak boleh membeli beras di atas HPP, hampir dipastikan cadangan beras nasional, 1,5 juta hingga 1,8 juta ton, sulit tercapai. “Bedanya, zaman SBY mudah ditambal importasi, jamannya Jokowi dibatasi janji tak akan impor dan kedaulatan pangan,” ungkapnya.
Tahun ini, lanjut Mochammad Maksum, Presiden Jokowi lewat Inpres No.5/2015 menetapkan HPP Gabah Kering Panen (GKP) dalam negeri dengan kadar air maksimum 25 persen dan kadar hampa maksimum 10 persen adalah Rp 3.700 per kilogram (kg) di petani atau Rp3.750 per kg di penggilingan.
Sementara itu, HPP Gabah Kering Giling (GKG) dengan kualitas kadar air minum 14 persen dan kotoran maksimum 3 persen adalah Rp 4.600 per kg di penggilingan atau Rp 4.650 per kg di gudang Bulog.
Adapun HPP beras kualitas kadar air maksimum 14 persen, butir patah maksimum 20 persen, kadar menir maksimum 2 persen dan derajat sosoh minimum 95 persen adalah Rp 7.300 per kg di gudang Bulog.
“Inpres 5/2015 proporsi harga antara beras Rp 7.300 per kg dan GKP Rp 7.300 per kg, dengan biaya penggilingan Rp 300-Rp 500 per kg, secara teknis hanya bisa terwujud ketika rendemennya penggilingannya 66 persen-67 persen, ini menjadi krisis akademik karena angka rendemen ini tidak pernah ada, di laboratium sekalipun,” kata Maksum.
(A Adib / CN26 / SM Network)
http://berita.suaramerdeka.com/inpres-beras-selalu-bermasalah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar