Jum'at, 8 Mei 2015
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri BP2KP Kementerian Perdagangan Ninuk Rahayuningrum menyebutkan rasio serapan Bulog terhadap produksi selama lima tahun terakhir (2010-2014) paling besar terjadi pada 2012 sebesar 8,4%, namun beberapa tahun setelahnya, rasio pengadaan hanya berkisar di angka 5%-7%.
“Pada 2012, Bulog banyak menyerap beras di bawah standar kualitas. Tetapi sekarang dia nggak mau menyerap yang di bawah kualitas,” kata Ninuk.
Dengan kecilnya rasio pengadaan beras/ gabah oleh Bulog, pemerintah akan kesulitan melakukan stabilisasi harga ketika permintaan melonjak menjelang puasa dan lebaran. Di sisi lain, gap harga beras domestik dan harga beras impor di tingkat eceran tampak terus meningkat.
Hal tersebut harus diperhatikan, karena masyarakat berpendapatan rendah mengeluarkan 60% dari pendapatannya untuk konsumsi pangan. Dengan harga pangan yang tinggi, tentu akan membebani kelompok masyarakat tersebut.
Sementara itu, berdasarkan data BP2KP, gap harga antara beras medium dalam negeri dengan beras medium dari Vietnam dan Thailand makin meningkat.
Beras umum dari Vietnam (broken 5%) sejak januari 2013 yaitu Rp5.500/kg dibanding beras dalam negeri memilki gap sebesar 96% dari harga dalam negeri yaitu Rp10.800/kg. Sedangkan pada minggu pertama April 2015 gap mencapai 90%, dengan harga beras Vietnam Rp6.895,dan harga beras dalam negeri Rp12.612.
Adapun, gap antara beras umum Thailand (broken 5%) dan beras Indonesia memiliki gap sebesar 50% pada Januari 2013, harga beras Thailand Rp7.200 dan beras dalam negeri Rp10.800. dan pada minggu pertama April 2015 gap meningkat menjadi 83%, dengan harga beras Thailand Rp5.717 dan beras dalam negeri Rp12.612.
http://www.tempo.co/read/news/2015/05/07/090664464/Rasio-Pengadaan-Bulog-Berkisar-di-Angka-5-7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar