Jumat, 15 Mei 2015
Di sejumlah daerah dari Sa bang sampai Merauke, har ga gabah terpantau anjlok, namun harga beras justru melejit. Kondisi ini semakin menekan petani bila stabilitas harga beras tidak terjaga, di tengah desakan impor beras yang semakin kuat.
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman mengungkapkan, dari hasil blusukannya ke berbagai daerah, ia menemukan harga gabah Rp 3.000 hingga Rp 3.400 per kilogram, sementara harga beras dari petani berkisar Rp. 6700 Rp 7200 per kilogram. Sedangkan harga beras di pasar sudah mencapai Rp 7.500 hingga Rp 10.000 per kilogram.
Harga gabah anjlok ini ia temukan di Batubara (Sumatera Utara), Oku Timur, (Sulawesi Selatan), Banyuasin (Sumatera Selatan), Tulang Bawang (Lampung), Klaten (Jawa Tengah), Yogyakarta (DIY), Bojonegoro (Jawa Timur), Ternate (Maluku Utara), Pulau Buru (Maluku), hingga Manokwari dan Merauke (Papua).
Nilai itu di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang diatur Inpres Nomor 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, 17 Maret 2015 lalu dengan nilai Rp 3.700 untuk gabah dan Rp 7.300 untuk beras.
“Saya sudah datangi berbagai daerah dari Sabang hingga Merauke, saya tanya langsung ke petani dan pedagang, harga gabah rata-rata sama Rp 3.000 hingga Rp 3.400. Sedangkan harga beras dari penggilingan paling besar Rp 7.000,“ ungkap Mentan di Merauke, Papua, Senin (11/5/2015).
Menurut Mentan, disparitas harga gabah dan beras dari petani hingga ke pasaran sangat jauh. Dari disparitas tersebut, Menteri menilai ada satu pihak yang sangat diuntungkan dengan kondisi saat ini.
“Petani yang bekerja selama 100 hari kepanasan dan kehujanan di sawah, berhadapan dengan hama dan tikus hanya menikmati 10 hingga 20 persen, sementara pedagang untung berkisar antara 60% hingga 100%. Namun ke nyataan di pasaran harga beras sudah bagus. Ini sudah pasti ada pihak yang diuntungkan, tak lain adalah tengkulak,“ ujar Mentan.
Mentan menambahkan, akan menjadi sia-sia bagi petani yang sedang semangat semangatnya meningkatkan produksi, namun petani tidak menikmati keuntungan yang layak. “Petani sudah semangat menanam, pemerintah sudah gencar memberikan bantuan. Jika harga masih tidak menguntungkan petani, ini akan membuat demotivasi petani, mereka kehilangan semangat,“ sesalnya.
Di Dusun Glagah, Desa/Kecamatan Purwosari, Kabupaten Bojonegoro misalnya, pasca panen terakhir, harga gabah yang dihasilkannya terus merosot.Harga gabah yang semula Rp 3.500 per kilogram, dalam sebulan terakhir ini turun menjadi Rp 3.200 yang kemudian turun lagi menjadi Rp 3.000. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta hanya di kisaran Rp 3.500/kg di tingkat petani, sementara untuk Maluku dan Merauke tak jauh berbeda harga berada di kisaran Rp 3.400 per kilogram.
Mentan berharap Perum Bulog akan menjadi aktor penyeimbang supplydemand dengan menyerap surplus produksi petani. Menurutnya ini merupakan wujud “kehadiran negara“ seperti amanat konstitusi untuk mewujudkan swasembada pangan. Bulog diharapkan lebih kreatif dalam melakukan pengadaan beras dalam rangka menjaga supaya harga gabah petani sehingga tidak terjun hingga di bawah HPP yang ditetapkan oleh pemerintah.
Mentan juga menegaskan, agar penjualan beras petani harusnya dijual langsung kepada pihak Bulog, tanpa melalui mitra usaha. Hal itu dilakukan untuk menjaga kestabilan harga beras petani yang mampu menunjang kesejahteraan petani.
“Beras petani harus dijual langsung ke Bulog dengan ketentuan harga yang wajar. Dan Bulog harus membayarnya dengan harga yang membantu petani.Jangan dijual ke mitra usaha, karena akan memberikan keuntungan bagi mereka.Bayangkan misal mereka beli dengan harga Rp 5.500 per kilogram, mereka jual ke kota Rp 10.000 per kilogram, tentu mereka yang dapat untung. Kasihan kan para petani,“ tutur Mentan.
Mentan menilai penyerapan yang dilakukan oleh Bulog di lapangan memang masih belum maksimal karena terkendala kualitas gabah dan beras yang tidak sesuai ketentuan Inpres. Sebagai contoh, berdasarkan Inpres No.5/2015, HPP berlaku untuk GKP dengan kadar air maksimum 25%, sementara banyak beras petani yang kadar airnya di atas 25%, bahkan di atas 30%.
Namun Bulog diharapkan mengerti bahwa petani tidak mengerti dengan persyaratan-persyaratan tersebut, Sehingga Bulog harus lebih kreatif dalam menyiasati penyerapan hasil panen petani.
“Gabah-gabah yang masih basah bisa saja ditingkatkan kualitasnya di penggilingan-penggilingan padi yang memiliki banyak alat pengering. Kadar air kan bisa disiasati dengan bekerja sama dengan penggilingan-penggilingan mitra kerjanya. Harus kreatif menyerap produksi petani, jangan menunggu mereka,“ ucap Mentan.
Bila serapan beras rendah, Bulog tidak akan bisa memiliki stok yang cukup untuk mejaga stabilitas harga beras.Konsekuensinya, cadangan beras yang dikelola Bulog menipis. Di sisi lain, pedagang menguasai stok sehingga pasar beras mudah sekali bergejolak.
Sebelumnya, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, penguasaan stok beras nasional saat ini justru berada di pasar (pedagang besar) bukan pemerintah. Hal ini yang menyebabkan melonjaknya harga beras beberapa bulan lalu.
“Saat itu para pedagang-pedagang besar menahan stok berasnya karena penyerapan beras dari petani dilakukan pedagang besar. Jadi pemerintah tak memiliki instrumen untuk melakukan stabilisasi harga (beras),“ ujar Enny di Jakarta, akhir pekan lalu.
Enny menilai, saat pemerintah berupaya untuk menurunkan harga beras dengan menugaskan Bulog melakukan operasi pasar saat itu tidak efektif, karena Bulog tak memiliki cukup stok beras.
“Bagiamana mau operasi pasar kalau stok berasnya enggak ada. Waktu kenaikan beras kemarin itu Bulog enggak punya stok beras,“ pungkasnya.
Masalahnya, tak mudah bagi Bulog dalam mengemban tugas itu. Di satu sisi, ada tuntutan kuat agar Bulog menjaga kualitas beras. Ini berkaitan dengan keluhan buruknya kualitas beras untuk rakyat miskin (raskin) yang selalu berulang.Di sisi lain, apabila berkeras menjaga kualitas tinggi, ada kemungkinan Bulog tidak mendapatkan gabah/beras.
Hal ini yang menjadi celah para spekulan dalam mempermainkan harga beras. Para tengkulak terus mengeruk keuntungan besar, sementara para petani tidak pernah meningkat pendapatannya.
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2015/05/15/ArticleHtmls/Harga-Gabah-Anjolk-Harga-Beras-Melejit-15052015004028.shtml?Mode=1#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar