Rabu, 6 Mei 2015
Pengadaan gabah/beras dalam negeri yang menjadi salah satu pilar kebijakan beras nasional yang dirancang pada awal Orde Baru masih dipertahankan hingga sekarang.
Malahan, beberapa tahun terakhir besarnya pengadaan dalam negeri dipakai sebagai salah satu "kriteria keberhasilan" pimpinan di Perum Bulog. Pengadaan adalah kunci dalam merealisasikan jaminan harga buat petani dan penguatan stok beras nasional. Namun, pengadaan Bulog awal 2015 seret, hingga akhir April Bulog baru mampu memupuk pengadaan 470.000 ton setara beras (Kompas, 29/4). Padahal, pada tahun-tahun pertumbuhan produksi padi bagus, Bulog mampu memperoleh pengadaan di atas 1 juta ton setara beras.
Tahun ini, pemerintah meminta Bulog meningkatkan pengadaan beras menjadi 4,5 juta ton. Itu beralasan karena pemerintah sangat intensif meningkatkan produksi padi. Pemerintah juga berencana tak impor beras untuk memperkuat stok Bulog atau cadangan beras pemerintah.
Pengadaan gabah/beras Bulog sangat bergantung pada dua variabel utama: pertumbuhan produksi padi dan selisih harga pembelian pemerintah (HPP) dengan harga pasar. Pengadaan dalam negeri berkorelasi positif dan tinggi terhadap pertumbuhan produksi padi (0,77). Jika pertumbuhan produksi padi tinggi dan berlangsung tiga tahun berurutan seperti periode 2007- 2009 dengan pertumbuhan 5,75 persen per tahun, carry over stock gabah/beras secara kumulatif menjadi tinggi. Itu akan mendorong harga gabah/beras tertekan rendah sehingga kejatuhan harga gabah di bawah HPP meluas.
Bulog dapat melakukan pengadaan gabah/beras dalam jumlah besar seperti berlangsung pada periode 2008-2009. Dalam periode itu, Bulog tak impor beras, harga beras dalam negeri stabil, intervensi pasar sangat minim.
Terus apa yang mendorong pengadaan Bulog tinggi pada periode 2012-2013? Produksi padi hanya tumbuh 4,12 persen per tahun dan tumbuh negatif tahun sebelumnya. Penjelasannya adalah kenaikan HPP tinggi. HPP beras 2012 naik 30 persen terhadap HPP 2011, kenaikan tertinggi sejak dua dekade terakhir.
HPP beras 2015 naik 10,6 persen di atas HPP 2012. Itu tentu rendah, sedangkan harga beras di pasar naik sekitar 30 persen dalam periode tersebut. Pemerintah tentu punya alasannya, HPP bukanlah semata dirancang untuk tujuan pengadaan Bulog, terpenting harga pasar yang diterima petani telah berada lebih 30 persen di atas biaya produksi.
Upaya Khusus
Keberhasilan program Upaya Khusus (Upsus) menjadi tantangan besar dalam upaya peningkatan produksi padi. Pemerintah sedang bekerja keras memperbaiki jaringan irigasi, mengoptimalkan penggunaan lahan, gerakan tanaman terpadu dengan bantuan input seperti benih, pupuk, pestisida, termasuk alat dan mesin pertanian, diperkuat dengan intensifnya pengawalan/pendampingan.
Kalau itu berhasil, Bulog masih berpeluang memperoleh pengadaan tinggi pada Mei hingga Juni. Namun, risiko Bulog tetap tinggi karena harga gabah terus naik, hanya turun sebentar minggu terakhir Maret/awal April. Peningkatan harga itu lumrah terjadi karena pertumbuhan produksi padi negatif pada 2014 sehingga carry over stock beras terkuras, termasuk stok Bulog. Harga gabah telah melampaui angka Rp 4.200 per kilogram gabah kering panen (GKP) dan cenderung naik, jauh di atas HPP Rp 3.700 per kilogram. Harga gabah/beras terus naik, akan lebih "kencang kenaikannya" mulai Juli.
Saat harga gabah/beras tinggi, pemerintah tentu tak bisa memaksa peserta program Upsus atau program lain menjual gabah/beras kepada Bulog , meski mereka telah memperoleh banyak bantuan/dukungan pemerintah. Program Gerakan Peningkatan Produksi Padi Berbasis Korporasi pada era Kabinet Indonesia Bersatu II gagal membujuk petani/pelaku usaha menjual gabah/beras kepada Bulog kalau harga di pasar tinggi. Padahal, mereka telah menerima bantuan natura atau innatura. Pada 2014, Bulog hanya mampu memupuk pengadaan 2,3 juta ton, jauh di bawah target 3,9 juta ton.
Apa yang perlu dilakukan pemerintah dan Bulog? Pertama, pemerintah harus all out meningkatkan pertumbuhan produksi padi lebih dari 5 persen per tahun. Fokus pada usaha mengelola kelebihan/kekurangan air dan organisme pengganggu tanaman, hambat konversi lahan sawah, kurangi kehilangan hasil pada tahap pasca panen 2 persen per tahun. Kedua, Bulog hanya punya dua bulan lagi (Mei dan Juni) memupuk gabah/beras, sisa produksi panen raya. Bulog diperkirakan hanya mampu mengumpulkan pengadaan paling banyak 1 juta ton dua bulan ini.
Ketiga, Bulog dianjurkan jangan "berambisi merebut" gabah/beras hasil panen gadu mulai Juli karena produksi padi sedikit, kualitas gabah/beras bagus, dan harga pasti tinggi, jauh di atas HPP. Jika itu diabaikan, taruhannya reputasi Bulog terus merosot. Janganlah Bulog dijadikan lembaga penampung/penyalur beras kualitas jelek. Keempat, pemerintah perlu segera merancang plan B sekiranya pertumbuhan produksi padi kurang dari 5 persen, susut pasca panen tidak tercapai turun 2 persen, dan target pengadaan Bulog tak terpenuhi.
M HUSEIN SAWIT MANTAN KETUA FORUM KOMUNIKASI PROFESOR RISET KEMENTAN DAN SENIOR ADVISOR PERUM BULOG PERIODE 2003-2010
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150506kompas/#/6/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar