Rabu, 06 Mei 2015
SATU komoditas yang bisa menimbulkan gejolak politik, bahkan bisa menjatuhkan seseorang dari kekuasaan, ialah beras. Tidak usah heran apabila mantan Presiden Soeharto pernah mengatakan pertahanan politik terakhirnya ialah beras. Begitu seriusnya Pak Harto mengurusi beras.
Tidak hanya dari sisi produksi, tetapi juga tata niaganya. Tidak boleh ada yang mengganggu sistem tata niaga karena sekali sistem itu terganggu, yang terpukul petani dan masyarakat sekaligus.
Penataan sistem tata niaga ketika itu dilakukan dengan sempurna. Badan Urusan Logistik dibuat sebagai lembaga penyangga. Ia bekerja menyelamatkan petani ketika harga gabah di bawah harga patokan dan menyelamatkan masyarakat ketika harga beras melambung.
Sayang lembaga itu diamputasi Dana Moneter Internasional karena dianggap sebagai kartel dan sarang korupsi. Akibatnya harga beras lebih ditentukan mekanisme pasar.
Dalam masyarakat yang akses informasinya merata dan tingkat pengetahuannya relatif sama, mekanisme pasar memang ideal dalam pembentukan harga. Namun, ketika yang terjadi informasi asimetris dan ada kekuatan yang seenaknya melakukan distorsi pasar, yang terganggu tatanan sosial. Itulah yang kini kita hadapi.
Harga beras tiba-tiba bergejolak di saat panen raya. Penyebabnya perilaku pedagang yang mengambil untung sebesar-besarnya. Para pedagang sadar bahwa petani kita lemah dalam pendanaan. Mereka masuk untuk mengijon padi petani. Mereka sejak awal sudah membeli produksi petani dengan harga Rp2.300-Rp2.600 per kilogram.
Ketika pemerintah menetapkan harga patokan Rp3.700/kg, petani praktis tidak menikmati apa-apa. Kini, Ramadan segera tiba. Sudah menjadi kebiasaan pada bulan puasa konsumsi masyarakat meningkat.
Para pedagang mencoba memanfaatkan kesempatan dengan mendistorsi informasi agar harga beras bisa didorong ke atas. Kita mendengar harga beras akan dibuat di atas Rp10 ribu per kilogram. Di mana peran negara? Para pedagang tahu negara tidak memiliki kemampuan. Bulog kalah cepat dari para pedagang untuk menimbun stok.
Di saat panen, Bulog boleh dikatakan belum melakukan apa-apa. Stok beras berada di tangan para pedagang. Dengan menguasai stok, para pedagang bisa seenaknya mempermainkan harga.
Mereka tahu pemerintah tak mampu melakukan operasi pasar karena tidak memiliki stok. Mereka berani mendistorsi pasar karena memiliki akses ke kekuasaan.
Sekarang merupakan ujian bagi pemerintahan Joko Widodo untuk bisa mengendalikan sistem tata niaga. Pemerintah jangan terjebak dalam pandangan bahwa harga beras tinggi akan menguntungkan petani. Padahal, petani tidak pernah menikmati harga tinggi itu. Hanya segelintir pedagang yang menikmatinya.
Ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mengendalikan gejolak harga beras. Pertama, gunakan jalur hukum dengan jerat persaingan tidak sehat yang diterapkan para pedagang. Kedua, pemerintah memegang stok beras untuk melakukan operasi pasar langsung.
Pertanyaannya, dari mana pemerintah mendapatkan stok ketika produksi petani sudah dikuasai pedagang?
Pemerintah bisa melakukan impor langsung. Izin impor hanya untuk pemerintah dan stoknya dipegang langsung pemerintah. Apakah langkah itu tidak akan merusak Nawa Cita?
Itu langkah sementara sambil menata sistem produksi dan tata niaga. Kita tidak bisa membiarkan masyarakat menjadi korban permainan para pedagang.
MI/SENO Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group
http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/11317/Beras/2015/05/06
Tidak ada komentar:
Posting Komentar