JAKARTA – Harga gabah di sejumlah daerah anjlok, namun harga beras justru melejit. Kondisi demikian makin menekan petani apabila stabilitas harga beras tidak terjaga di tengah desakan impor yang menguat. Bonang, Koordinator LSM Protanikita menilai penguasaan stok beras nasional saat ini ada di pasar atau pedagang besar, bukan pemerintah.
Akibatnya harga beras melonjak akhir-akhir ini. ‘’Para pedagang besar menahan stok karena penyerapan beras dari petani dilakukan oleh mereka. Jadi, pemerintah tak memiliki instrumen untuk stabilisasi harga,’’ tutur dia, kemarin. Upaya pemerintah menurunkan harga beras dengan cara menugasi Bulog melakukan operasi, dia nilai tidak efektif karena badan itu tak memiliki cukup stok.
‘’Bagaimana mau operasi pasar kalau tak ada stok? Sewaaktu harga beras naik, Bulog tidak punya cukup stok,’’tegas Bonang. Menurut dia, tak mudah bagi Bulog dalam mengemban tugas itu. Di satu sisi, ada tuntutan kuat menjaga kualitas beras.
Hal itu berkaitan dengan keluhan atas kualitas beras untuk rakyat miskin (raskin) yang selalu berulang. ‘’Di sisi lain, apabila bersekeras menjaga kualitas tinggi, ada kemungkinan Bulog tidak mendapatkan gabah atau beras,’’imbuh dia. Kondisi demikian, tutur Bonang, menjadi celah bagi para spekulan untuk mempermainkan harga beras.
Para tengkulak terus mengeruk keuntungan besar, sedangkan para petani tidak pernah meningkat pendapatan dan kesejahteraannya. Saat ini, harga gabah Rp 3.000 hingga Rp 3.400 per kilogram, dan harga beras petani berkisar Rp 6.700 sampai Rp 7.200 per kilogram. Di pasaran, harga beras Rp 7.500-Rp 10.000 per kilogram.
Harga gabah anjlok terjadi Klaten (Jawa Tengah), Yogyakarta (DIY), dan Bojonegoro (Jawa Timur). Harganya di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang diatur Inpres No 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/ Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah tanggal 17 Maret 2015, yakni gabah Rp 3.700 per kilogram dan beras Rp 7.300 per kilogram.
Menurut Bonang, disparitas harga gabah dan beras dari petani hingga ke pasaran sangat jauh. Dari disparitas tersebut, ada satu pihak yang sangat diuntungkan. ‘’Petani yang bekerja sekitar 100 hari kepanasan dan kehujanan di sawah berhadapan dengan hama dan tikus, hanya menikmati 10% hingga 20%, sedangkan pedagang untung antara 60% dan 100%.
Namun, kenyataan di pasaran harga beras sudah bagus. Pasti ada pihak yang diuntungkan, tak lain tengkulak!’’tegas dia. Dia menambahkan menjadi sia-sia bagi petani yang sedang bersemangat meningkatkan produksi, tetapi tidak menikmati keuntungan layak. Jika harga masih tidak menguntungkan mereka, akan menyebabkan kehilangan motivasi.
Tambah Miskin
Serikat Petani Indonesia (SPI) mendesak pemerintah tidak mengimpor beras yang dapat memicu penurun nilai tukar petani (NTP) sehingga mereka kian miskin. “Apa pun jangan sampai impor.
Jika pemerintah impor beras, NTP makin jatuh. Petani pangan yang mayoritas mengandalkan padi bertambah miskin,” ungkap Ketua Umum SPI Henry Saragih. Data BPS Mei 2015 menunjukkan, dibandingkan dengan Maret 2015 terjadi penurunan sektor tanaman pangan 3,44%, hortikultura 1,02%, dan perkebunan rakyat 0,40%.
Penurunan tajam NTP tanaman pangan dari 100,80 menjadi 97,33 disebabkan oleh penurunan indeks yang diterima kelompok petani padi sawah. ‘’Periode waktu antara panen dan musim gadu rupanya menjadi periode yang menyesakkan bagi petani. Selama April 2015, kualitas gabah rendah,’’tandas dia.(di-29)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar