Sabtu,30 Mei 2015
Beras sebagai sumber bahan pangan utama rakyat Indonesia tidak henti-hentinya diterpa persoalan: produksi, pasca panen, hingga gejolak harga. Paling akhir masalah beras palsu berbahan baku plastik yang dioplos dengan beras konsumsi.
Masih dalam ingatan harga beras naik di awal tahun 2015. Dan pada Mei 2015 harga beras kualitas medium kembali naik.
Melonjaknya harga beras di awal tahun sejatinya tidak lepas dari kebijakan strategi stabilisasi harga. Kekosongan penyaluran raskin di akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015, serta panjangnya musim paceklik akibat mundurnya musim tanam dan musim panen padi di musim hujan, tidak diantisipasi dengan penggelontoran beras ke pasar melalui operasi pasar (OP).
Dalam kondisi genting, OP distop. Strategi OP diubah total. Tuduhan mafia kepada para pedagang beras, serta penghentian OP melalui pedagang, memicu kekisruhan harga.
Harga beras menjadi liar. Memasuki panen raya padi, sudah terbentuk tingkat harga beras baru yang tinggi. Perum Bulog merupakan garda terdepan pelaksanaan stabilisasi harga beras tidak banyak bisa berbuat. Padahal, Bulog sangat dibutuhkan kehadirannya di pasar, termasuk sekadar menenangkan publik.
Sikap yang menggampangkan pengelolaan beras akan berbuah "bencana". Belum lagi adanya perubahan karakteristik pola pertanaman padi dalam kondisi iklim anomali.
Dalam kondisi musim tanam padi yang mundur di musim hujan, biasanya akan berdampak pada tidak terjadinya panen raya padi secara serentak. Panen padi berlangsung dalam waktu yang berbeda di setiap wilayah.
Pola panen bergilir ini mengakibatkan harga gabah sulit turun. Kondisi ini diperparah dengan kehadiran pemain baru dengan modal kuat dalam bisnis penggilingan padi dan perdagangan beras. Mereka punya kemampuan mengendalikan harga beli gabah di tingkat petani.
Meski sudah diingatkan terus bahwa kehadiran pemain baru bisa mengganggu stabilitas pasar gabah, pemerintah bergeming. Kehadiran mereka akan mengatrol harga gabah petani, dan ini menguntungkan bagi produksi.
Kehadiran perusahaan penggilingan padi besar dan modern baru dengan kapasitas giling di atas 1 juta ton jelas akan mengatrol harga gabah. Dengan kehadiran beberapa pemain besar secara simultan, membuat persaingan dan perburuan gabah di lapangan kian ketat. Dampaknya, harga gabah tetap tinggi sekalipun panen berlangsung.
Perum Bulog diyakini bakal tidak mampu melakukan pembelian beras sesuai target 4,5 juta ton. Dari data Bulog, per 25 Mei 2015, total pengadaan beras Bulog baru 1,1 juta ton. Dengan tambahan pengadaan beras sebesar itu, total stok beras nasional di gudang Bulog kini hanya 1,3 juta ton.
Untuk negara dengan penduduk 250 juta jiwa yang 80 persen masyarakatnya mengonsumsi nasi berbahan baku beras, mengandalkan stabilisasi harga beras hanya dengan 1,3 juta ton raskin adalah keliru. Dengan stok kecil, Bulog bisa apa?
Data di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, sebagai barometer beras nasional menunjukkan, harga beras kualitas medium pada Mei 2015 mulai naik. Beras IR-64 kualitas II yang akhir April 2015 harganya Rp 8.100 per kilogram (kg), pada 27 Mei naik menjadi Rp 8.500 per kg.
Begitu pula harga beras IR-64 kualitas III, setara beras medium Bulog, pada periode sama harganya naik Rp 200 per kg, dari Rp 7.500 menjadi Rp 7.700 per kg. Untuk beras kualitas lebih tinggi dan premium, harganya masih stabil.
Perjalanan tahun 2015 masih panjang, setidaknya masih tujuh bulan lagi. Masih harus melalui bulan Ramadhan dan Lebaran, serta musim paceklik 2015/2016 yang belum bisa diprediksi kondisinya secara pasti.
Presiden Joko Widodo harus turun tangan. Segera mencermati dengan baik situasi perberasan kini hingga awal tahun 2016, dan membuat keputusan-keputusan strategis yang bisa mengendalikan harga beras. Urusan pangan ini selalu berat taruhannya. (HERMAS E PRABOWO)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150530kompas/#/17/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar