Jumat, 29 Mei 2015
Pada kesempatan pulang kampung, saya menyempatkan diri untuk menemui sejawat lama, sahabat semasa sekolah dasar belasan tahun silam. Sebut saja namanya Yuliswar. Dua kali saya menyambanginya di warung kopi, tempat ia bersantai melepas lelah setelah seharian bergelimang lumpur sawah.
Namun, Yuliswar seolah-olah telah membaca kedatangan saya. Tak seperti biasanya, ia ternyata tidak berada di sana. Saya menduga-duga, jangan-jangan Yuliswar sengaja menghindar? Padahal saya sangat merindukan perjumpaan itu. Lalu, saya mendatangi rumah orangtuanya. "Mungkin Yuliswar malu karena kini ia sudah menjadi orang tani," kata ibunya dengan nada yang terdengar begitu dingin.
Jarak ideologis
Apa sebenarnya yang salah dengan orang tani? Kenapa Yuliswar mesti menanggung malu hanya karena ia orang tani? Apakah sudah terbentang jarak ideologis yang memisahkan orang tani dan orang rantau seperti saya? Apakah terminologi "orang tani" sudah tegak sebagai martabat rendah yang merepresentasikan peruntungan tidak mujur? Sementara "orang rantau" hendak memperlihatkan sebentuk cita-cita, bahkan puncak pencapaian yang hendak direngkuh oleh semua orang? Padahal, tidak semua orang rantau itu terbilang bernasib mujur. Banyak yang "jadi orang", tetapi tak terhitung pula yang terpelanting sebagai pecundang.
Saya tak pernah lupa, dahulu Yuliswar murid paling menonjol di kelas kami. Cepat menangkap penjelasan guru, kuat daya ingat, dan andal dalam ilmu hitung. Bila belum dapat disebut jenius, paling tidak ia murid paling tanggap, cepat, dan tepat, hampir di setiap mata pelajaran. Tak ada yang sanggup menumbangkan rekornya sebagai pemegang juara I di kelas kami. Dari kelas I hingga VI, ia pemegang tampuk juara abadi di sekolah kami yang sederhana itu.
Dengan potensi kecerdasan tersebut, saya ketika itu memperkirakan kelak ia bakal menjadi orang besar. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, setelah menyandar gelar sarjana geografi dari sebuah perguruan tinggi negeri, dengan kerendahan hati Yuliswar memilih hidup sebagai petani, tinggal di kampung, tidak seperti saya yang kemudian memilih terbang-hambur dari tanah kelahiran.
Tetapi, kenapa ia malu bertemu saya? Saya curiga, jangan- jangan orang tani telah menjadi pertanda bagi ketidakmujuran nasib sejawat saya itu. Menjadi petani bukan lagi cita-cita luhur yang terpancang sejak semula, tetapi telah beralih menjadi sekadar ranah pelarian guna bersunyi-diri, dan merayakan kekalahan dari hidup yang keras.
"Akhirnya di pematang sawah juga ia menambatkan kekalahan," begitu kira-kira ungkapan peyoratifnya. "Apalah guna sekolah tinggi bila ujung-ujungnya bergelimang lumpur sawah juga?" Inilah pertanyaan yang kerap mengusik-bila tak bisa disebut mengancam-kaum terdidik pedesaan.
Bagi kaum tani masa kini, berpendidikan tinggi berarti upaya menjauh dari dunia tani, dunia lumpur, dan dunia cangkul. Pencapaian utamanya tentulah menjadi pegawai negeri sipil dengan segenap atribut, seperti seragam, lembaga tempat bekerja, dan tak lupa; status sosial yang terpuji di tengah-tengah masyarakat.
Maka, bila seorang sarjana menjatuhkan pilihan menjadi petani, itu akan menjadi masalah, bahkan tak jarang dipandang sebagai aib. Bagi keluarganya, kalau tidak berhasil menjadi pegawai negeri sebagaimana yang diidam- idamkan, setidaknya ia bisa merantau jauh, bekerja apa saja di kota, asal tidak mengayun cangkul di sawah, sebagaimana keseharian ibu-bapaknya.
Demikian gambaran sederhana tentang mentalitas petani masa kini. Orang-orang yang terlahir di lingkungan masyarakat tani tidak lagi tergiur, apalagi bersetia kepada ibu kultural yang melahirkannya.
Lain sejawat saya, lain pula tetangga saya, yang tak segan-segan menggadai, bahkan menjual lahan sawah guna membiayai keberangkatan anak gadisnya untuk menjadi TKI di Timur Tengah. Baginya, sejumlah bidang sawah warisan keluarga tidak lagi dapat diandalkan. Hasil panen dari musim ke musim merosot jauh.
Alih-alih mendatangkan hasil yang memadai, dari panen ke panen, lubang utang kepada tauke justru semakin menganga. Sebegitu gampangnya petani merelakan lahan sawah, guna membangun rumah, membiayai pesta pernikahan, hingga membeli sepeda motor keluaran terkini. Padahal, sawah itu adalah nyawa mereka, identitas, dan sidik jari mereka.
Lalu, bagaimana strategi pertahanan pangan dapat ditegakkan di negara agraris ini? Alih- alih dapat memperkuat ketahanan pangan, yang berlangsung saban hari justru kian rapuhnya etos kepetanian yang di masa lalu dipercayai sebagai fondasi utama ketahanan pangan.
Maka, sebelum terlalu jauh mencanangkan program-program teknis dalam menyongsong swasembada beras, barangkali negara perlu mempertimbangkan mentalitas petani yang sedang keropos ini. Membangun irigasi, penyebarluasan bibit unggul, dan penerapan teknologi pertanian guna mendongkrak kapasitas produksi tentulah penting, tetapi yang jauh lebih mendesak adalah membangun manusia petani itu sendiri.
Bila ini diabaikan, tekad pemerintah untuk menghentikan impor beras tetap akan dikalahkan oleh ancaman ketidakstabilan harga karena dari tahun ke tahun stok beras selalu tidak cukup. "Kalau tidak impor, harga naik. Kalau impor, petani jadi tidak rajin berproduksi," demikian kata Presiden ( www.kompas.com, 18/4/2015).
Mentalitas kepetanian
Kalimat "rajin berproduksi" tentu erat kaitannya dengan mentalitas kepetanian yang sedang tergerus itu. Perlahan-lahan petani kita sedang bergeser menjadi sekadar buruh tani. Akibatnya, di berbagai belahan wilayah, banyak petani yang membeli beras untuk kebutuhan dapur sendiri. Sama sekali tak ada cadangan pangan yang dapat disisihkan dari setiap panen mereka. Ribut-ribut soal beras sintetis boleh jadi bagian dari problem ketidakmampuan petani kita dalam mempertahankan, apalagi meningkatkan kapasitas produksi gabah, selain tentu saja karena faktor-faktor eksternal dan nonpetani, yang selekasnya harus menjadi perhatian pemerintah.
Orang-orang bijak sudah mencatat, setiap manusia memiliki kesetiaan kepada alam kulturalnya. Buktinya, sejauh ini kita masih bersetia kepada adat istiadat, etnis, dan agama, tetapi kenapa kita tidak punya keteguhan hati untuk bertahan sebagai petani?
Bila mentalitas kepetanian yang sejati tidak segera dibangkitkan, apalagi kalau dibiarkan terus-menerus mengalami keretakan, maka lumbung-lumbung padi di seantero negeri bakal roboh, dan ketahanan pangan kita akan semakin bergantung pada kiriman beras dari luar negeri.
DAMHURI MUHAMMAD
SASTRAWAN, ALUMNUS PASCASARJANA FILSAFAT UGM
http://print.kompas.com/baca/KOMPAS_ART0000000000000000014150104.aspx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar