Jumat, 27 Juni 2014
Setiap tahun, tepatnya setiap kali menjelang perayaan lebaran Idul Fitri yang didahului dengan puasa bulan Ramadhan, terjadi lonjakan harga kelompok sembilan bahan pokok (sembako). Pada kurun waktu tersebut, hampir pasti laju inflasi bulanan melonjak dibanding bulan-bulan lainnya. Faktor pendorongnya adalah lonjakan harga sembako yang luar biasa.
Lonjakan inflasi yang melambung tinggi memberikan efek lanjut berupa kenaikan suku bunga acuan atau BI rate. Ini karena salah satu upaya efektif meredem inflasi adalah dengan mengerek BI Rate. Celakanya, kenaikan BI Rate akan diikuti oleh kenaikan suku bunga bank. Ujung-ujungnya pelaku usaha menjerit karena beban usaha meningkat disebabkan angsuran pokok dan bunganya melonjak dari biasanya.
Oleh karena itu, pemerintah harus berpikir strategis bagaimana mengupayakan pengendalian inflasi yang efektif dari sisi persediaan sembako. Karena sembako terkait dengan kelompok hasil pertanian seperti beras, minyak goreng, ikan asing, cabe, dan gula pasir, maka perlu dipikirkan ulang untuk merevitalisasi peran Badan Usaha Logistik (Bulog) sebagai stabilisator harga di pasar.
Seperti diketahui, perum Bulog memiliki peran strategis dalam ketahanan pangan nasional. Tugas mulia yang diamanatkan pemerintah kepada Bulog tersebut, bukan berarti selama ini tidak menemui halangan dan rintangan. Dengan ketangguhan manajemen, Bulog mampu melalui halang rintang tersebut.
Terbukti Bulog selama ini berhasil menjadi stabilisator beras dimana Bulog berperan sebagai penyelenggara Public Service Obligation (PSO) dan sebagai BUMN yang mutlak berorientasi pada profit, Bulog pun dapat menjalankan fungsi tersebut dengan baik. Dua fungsi berbeda yang selama ini dilakukan Bulog memang sangat bertolak belakang.
Disatu sisi berfungsi sebagai instrumen stabilisasi yang harus menjaga harga di tingkat produsen dan konsumen tidak timbul gejolak inflasi. Tetapi, di sisi lain layaknya sebuah perusahaan, BUMN ini harus memiliki keuntungan untuk dapat mencukupi segala kebutuhan operasional bisnisnya.
Jika berbicara mengenai aspek stabilisator, tentunya harus ada tolak ukur untuk menilai tingkat keberhasilan yang dicapai. Saat ini, Bulog masih berfungsi sebagai stabilisator pangan, khususnya beras, yaitu Bulog dituntut mampu menjaga harga di tingkat produsen dan mampu menjaga harga di tingkat konsumen sesuai dengan yang diinginkan pemerintah (administered price).
Sepanjang 2013 lalu, Bulog berhasil mencukupi cadangan beras, maka pada tahun tersebut Bulog tidak melakukan impor. Selama periode tersebut, Bulog berhasil menjaga harga beras pada tingkat yang relatif stabil. Dapat disimpulkan, periode 2013 Bulog telah berhasil menjaga ketahanan pangan nasional.
Untuk tahun 2014 ini, Bulog harus memiliki cadangan beras sebanyak 2 juta ton sesuai dengan ketetapan pemerintah. Namun demikian, hal tersebut kembali lagi kepada kemampuan produksi nasional. Kalau produksi nasional tidak mencukupi, maka harus dilakukan impor untuk dapat menjaga stabilitas harga di tingkat konsumen.
Berdasarkan pengalaman selama ini, Bulog mampu menjaga harga di tingkat produsen karena kemampuannya melakukan pengadaan beras di dalam negeri dengan mengandalkan empat strategi pokok. Pertama, strategi dorong tarik, yaitu mendorong agar petani mau langsung menjual ke Bulog. Caranya, Bulog memberikan beberapa layanan menarik seperti menyediakan gudang, kemudahan pembayaran dan memberikan insentif karung.
Kedua, strategi jaringan semut. Yaitu, jika dulu Bulog membeli beras dari para pelaku bisnis besar, maka sekarang Bulog membeli langsung dari kelompok tani, petani perorangan dan berbagai penggilingan skala kecil. Manfaat utama jaringan semut adalah, mata rantai Bulog dengan produsen menjadi lebih pendek, sehingga proses pengadaan beras lebih cepat dan produsen atau petani memperoleh harga yang wajar karena semuanya menjadi lebih efisien.
Ketiga, strategi insentif, di mana daerah yang defisit beras bisa membeli langsung dari daerah produsen dengan harga berbeda, tetapi tidak boleh lebih tinggi dari harga Bulog yang mengangkut beras dari daerah produsen ke daerah defisit. Strategi ini memberi keuntungan ganda, baik bagi perusahaan maupun masyarakat. Daerah defisit dapat melakukan pembelian gabah/beras dengan harga lebih tinggi dari Harga Pokok Penjualan (HPP), namun tambahan harga yang diberikan dalam bentuk insentif tersebut tidak lebih dari 80% biaya pengangkutan jika beras dikirim dari area atau regional produsen.
Keempat, strategi on farm, yaitu kerjasama langsung dengan petani yang mengolah hasil panennya di tempat Bulog seperti menjemur untuk mengeringkan gabah dan sekaligus menggilingnya di tempat Bulog. Kerjasama ini juga semakin memotong mata rantai sehingga petani akan mendapatkan nilai tambah.
Dengan empat strategi tersebut, Bulog mampu menjaga harga di tingkat konsumen agar tidak terjadi gejolak yang menyebabkan kenaikan sehingga harus dilakukan operasi pasar. Maka, jika mau mengukur keberhasilan Bulog di sisi konsumen, tentu ada pada aspek stabilitas harga tersebut. Dengan kata lain, Bulog sejauh ini mampu menjadi stabilisator harga di tingkat konsumen! Sebaliknya, jika sampai terjadi kenaikan harga yang ekstrim di tingkat konsumen, maka artinya Bulog telah gagal melakukan stabilisasi harga.
Selain harus memenuhi aspek sebagai stabilisator, Bulog juga memiliki fungsi komersial karena sebagai BUMN harus memiliki pendapatan untuk menghidupi dan membesarkan lembaga secara keseluruhan. Secara aspek komersial, Bulog melakukan serangkaian strategi bisnis untuk dapat menopang pendapatan. Bulog telah membentuk tiga anak usaha mulai hulu sampai hilir, dimana salah satu anak usaha tersebut sudah dilepas menjadi anak perusahaan.
Pertama, Unit Usaha Hulu, di mana Bulog memiliki Unit Pengolahan Gabah dan Beras (UPGB). Ke depan, unit usaha ini akan ditingkatkan tidak hanya sebagai unit pengolahan, tetapi juga menjadi unit usaha mulai dari kegiatan on farm. Jadi, Bulog menyediakan peralatan mesin pengolah tanah bekerjasama dengan kelompok tani, sampai dengan pengolahan hasil panen dan petani bisa langsung menjual berasnya kepada Bulog.
Kedua, Unit Usaha Jasa, yaitu jasa transportasi dalam pendistribusian. Anak usaha ini sudah dilepas dalam bentuk anak perusahaan, yaitu PT Jasa Prima Logistik (PT. JPL) yang bergerak di bidang logistik, survei dan pemberantasan hama.
Ketiga, Unit Usaha Hilir yang bergerak di bidang pemasaran dengan salah satu pasarnya adalah Public Service Obligatory (PSO). Namun, Bulog juga memiliki pasar lain seperti koperasi, ritel, pasar umum dan pasar tradisional. Pasar-pasar tersebut akan dilayani distribution center Bulog yang dikenal sebagai BulogMart, yang saat ini sudah mencapai 128 unit. BulogMart ini juga bisa dijadikan sarana untuk melakukan operasi pasar.
Dengan revitalisasi peran Bulog sebagaimana digambarkan di atas, maka impor bahan pangan dan pangan olahan sebagai bagian dari sembako dapat ditekan. Alhasil, ini akan menyeimbangkan neraca perdagangan nasional yang dalam waktu terakhir ini mengalami defisit. Untuk tahun ini, diperkirakan impor bahan pangan dan pengan olahan (processed foods) bisa mencapai lebih dari Rp200 triliun. Konon memasuki tahun pemilu, perburuan rente untuk menjaring dana demi memenangkan pihak tertentu disinyalir menjadi salah satu faktor melonjaknya impor pangan pada 2014.
Di samping juga akibat terbatasnya produksi pangan nasional sebagai dampak kurang maksimalnya pembangunan sektor pertanian, kondisi tersebut akan membuat defisit pangan tahun ini kembali melebar. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2004-2013), khusus impor bahan pangan (beras, gandum, jagung, kedelai, dan kacang-kacangan), relatif tinggi, apalagi bila ditambah bahan pangan kelompok hortikultura dan peternakan, besaran impor (tonase ataupun nilai) semakin tinggi.
Pada 2004, impor bahan pangan hanya mencapai 9,67 juta ton senilai USD2,42 miliar, namun pada 2006 meningkat menjadi 11,46 juta ton senilai USD2,57 miliar. Lalu pada 2010 melonjak menjadi 10,50 juta ton senilai USD3,89 miliar. Begitupun pada 2011 meningkat menjadi 15,36 juta ton senilai USD7,02 miliar dan pada 2012 sebesar 15,66 juta ton senilai USD5,07 miliar. Pada Januari-November 2013 lalu saja impor bahan pangan hanya 12,01 juta ton senilai USD5,069 miliar.
Defisit bahan pangan untuk komoditas yang sama dan periode sama juga menunjukkan tren peningkatan, meski pada 2013 ada kecenderungan menurun. Pada 2004, defisit pangan dari sisi tonase hanya 8 juta ton dengan nilai minus USD2,15 miliar. Namun pada 2006 melonjak menjadi minus 8,39 juta ton dengan nilai minus USD2,30 miliar.
Lalu pada 2010 menjadi minus 9,61 juta ton dengan nilai minus USD3,42 miliar, dilanjutkan pada 2011 menjadi minus 14,55 juta ton dengan nilai minus USD6,44 miliar, dan pada 2012 minus 15,40 juta ton dengan nilai minus USD6,78 miliar. Sedangkan pada Januari-November 2013, defisit 11,73 juta ton dengan nilai minus USD4,91 miliar.
Dari angka defisit pangan tersebut, menjadi tugas berat pemerintah sekarang maupun yang akan datang untuk bisa menjamin stok pangan agar tidak terjadi defisit. Maka, pengelolaan stok pangan yang kuat di daerah lebih efektif meredam inflasi, ketimbang pendekatan harga seperti dilakukan pemerintah selama ini.
Untuk itu, pemerintahan mendatang harus menjadikan peningkatan produksi pangan sebagai kunci meredam gejolak inflasi. Pemerintah juga harus memperkuat kerja sama antardaerah, membangun infrastruktur pertanian, dan melaksanakan reformasi agraria.
Tahun lalu, dari laju inflasi yang mencapai 8,38%, kelompok bahan makanan menyumbang andil terbesar 2,75%, diikuti kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan 2,36%, serta kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 1,48%.
Sedangkan kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau berkontribusi 1,34%, kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga 0,26%, kelompok kesehatan 0,15%, serta kelompok sandang 0,04%. Pendekatan manajemen stok pangan yang kuat di daerah juga menjadi solusi jangka panjang, tidak hanya sementara. Hal ini akan menciptakan ketahanan pangan dan berujung pada kemandirian pangan nasional.
Pembangunan stok pangan yang kuat di daerah antara lain dilakukan dengan mendorong daerah sentra pangan bekerja sama dengan daerah sentra konsumen, sehingga saling melengkapi. Dengan cara ini, opsi impor pangan bisa dihindari karena potensi dalam negeri benar-benar dimaksimalkan. Di sinilah Bulog bisa memainkan peran strategisnya.
Diakui, selama ini pemerintah melakukan pendekatan harga yang bersifat jangka pendek, yakni menambah impor ketika harga pangan melambung. Hal ini kerap hanya menguntungkan importir dan segelintir pihak. Sedangkan konsumen tetap menjadi korban karena harga pangan mahal. Kedaulatan pangan nasional juga rapuh.
Guna menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok untuk jangka panjang, pemerintah perlu mengembalikan peran Bulog dan memberikan kewenangan lebih untuk mengendalikan distribusi dan mengintervensi harga komoditas pokok.
Bulog tidak hanya diberi kewenangan menjaga suplai beras dan menyalurkannya kepada masyarakat miskin, tetapi juga menjaga suplai sejumlah komoditas strategis seperti tepung, gula, minyak sayur, kedelai, dan lain-lain. Di samping itu pemerintah juga harus melakukan intervensi terhadap kebutuhan pokok dengan tidak menyerahkan harga sepenuhnya kepada mekanisme pasar.
Intervensi dengan penetapan standar harga untuk sejumlah komoditas pokok dinilai bisa menjaga stabilitas harga jangka panjang. Hal ini juga diharapkan mampu meningkatkan produktivitas petani dengan adanya kepastian harga dari pemerintah dan mengurangi impor. Selama ini, pemerintah sepenuhnya menyerahkan kendali harga kepada mekanisme pasar sehingga ketika keran impor dibuka, komoditas dari luar negeri membanjiri pasar domestik dengan harga murah, maka petani dalam negeri enggan memproduksi karena harga produksinya tidak kompetitif lagi.
Karena lemahnya kontrol pemerintah terhadap harga kebutuhan pokok menyebabkan ketergantungan yang tinggi terhadap impor. Imbasnya, petani lokal sulit mengembangkan usaha pertanian berbasis kebutuhan pokok karena kalah bersaing dengan komoditas impor. Mestinya, kalau mau swasembada dan mengurangi impor, pemerintah harus mau mensubsidi petani dengan kepastian harga produksi mereka.
Sudah seharusnya menjelang penerapan Komunitas Ekonomi Asean (KEA) 2015, pemerintah mengembalikan peran Bulog tidak hanya menyangkut suplai beras, tetapi juga kebutuhan pokok lainnya.
(Rk)
http://www.businessnews.co.id/ekonomi-bisnis/merevitalisasi-peran-strategis-bulog.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar