Kamis, 12 Juni 2014

Membiakkan Sang Tuna Sirip Kuning

Kamis, 12 Juni 2014

INDONESIA dikenal sebagai produsen terbesar jenis tuna sirip kuning (yellowfin tuna) yakni 75 persen dari total produksi tuna sirip kuning dunia. Namun, seiring dengan penangkapan yang berlebihan dan ilegal, populasi tuna yang memijah di perairan Indonesia terus menurun dan mulai terancam.

Tuna sirip kuning (Thunnus albacares) dikenal beruaya jauh ke perairan tropis. Di Indonesia, daerah penangkapan ikan tuna yang disebut madidihang ini tersebar di perairan Indonesia.

Kontribusi penangkapan tuna sirip kuning mencapai 60 persen dari total tangkapan tuna Indonesia. Sebagai ilustrasi, jumlah produksi tuna dengan alat tangkap pancing (pole and line) dan hand line tahun 2013 sebanyak 269.530 ton, di luar tangkapan cakalang dan tongkol.

Seiring dengan kebutuhan konsumsi dunia yang terus naik, tuna sirip kuning terus diburu karena nilai ekonomisnya. Saat ini, harga jual tuna sirip kuning rata-rata 8 dollar AS per kg.

Namun, eksploitasi besar-besaran membuat kemerosotan hasil dan ukuran tangkapan dalam satu dekade ini. Perburuan tuna sirip kuning semakin masif seiring dengan merosotnya populasi tuna sirip biru yang kian langka. Tuna sirip kuning pun kian diincar sebagai alternatif.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada 2000-an, ukuran tangkapan tuna sirip kuning turun dari sekitar 60 kg menjadi 30 kg per ekor. Zona penangkapan kian jauh, dari semula di zona ekonomi eksklusif Indonesia kini ke Samudra Hindia dan Pasifik.

”Penangkapan berlebih menekan populasi ikan tuna sirip kuning. Bayi tuna ditangkap tanpa sempat besar,” kata Jhon Hutapea, Peneliti Penanggung Jawab Kegiatan Tuna Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol, Kabupaten Buleleng, Bali.

Perburuan bayi tuna sirip kuning kerap tidak sepadan dengan harga jualnya. Pada musim panen tangkapan di sejumlah wilayah, bayi tuna sirip kuning berbobot di bawah 5 kg hanya laku dijual Rp 10.000 untuk tiga ekor. Populasi kian terancam.

Budidaya
Di tengah hasil tangkap yang turun, upaya mempertahankan eksistensi tuna sirip kuning adalah dengan budidaya. Budidaya tuna sirip kuning sedang dikembangkan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol. Budidaya di Desa Penyabangan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, dengan menggunakan keramba jaring apung.

”Produksi tangkapan tuna sudah tidak bisa ditingkatkan lagi, sedangkan peluang budidaya tuna masih sangat terbuka dengan ketersediaan bayi tuna di perairan Indonesia,” kata Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol Rudhy Gustiano.

Pengembangan budidaya tuna sirip kuning sesungguhnya pernah dirintis balai itu pada 2003. Bekerja sama dengan Jepang, budidaya ini untuk pembesaran benih tuna dari alam. Namun, kerja sama terhenti pada 2006. Tahun 2008-2010, kerja sama ini dilakukan dengan Australia. Sejak 2013, Indonesia mengembangkan sendiri pembenihan dan pembesaran tuna.

Target akhir, kata Rudhy, adalah produksi benih dan pembesaran tuna sirip kuning hingga siap diekspor. Teknologi budidaya itu meliputi pembesaran bayi tuna untuk menjadi indukan, pembenihan, sampai panen.

Jhon menambahkan, ukuran tuna hasil pembenihan ditargetkan minimal 20 kg per ekor. Saat ini ada sekitar 200 bayi tuna hasil tangkapan alam yang dibesarkan di keramba jaring apung untuk menjadi indukan.

Pada masa lalu, upaya budidaya tuna terganjal wadah pembenihan dari bak beton. Karakter tuna yang memiliki daya jelajah tinggi membuat pasangan tuna yang berkejaran saat musim kawin tertabrak dinding sehingga mati. Penggunaan keramba jaring apung kali ini diharapkan membuat proses pembenihan menjadi lebih lancar.

Menurut Jhon, beberapa kelebihan budidaya tuna antara lain pemijahan bisa lebih cepat, waktu produksi bisa dikontrol hingga 200 hari setiap tahun. Selain itu, penanganan ikan tuna setelah panen juga dapat dilakukan lebih cepat dan efisien sehingga menurunkan kadar histamin yang bersifat alergik.

Biaya pengembangan budidaya keramba jaring apung tidak terbilang murah. Peralatannya menghabiskan Rp 1,5 miliar. Pakan yang dibutuhkan berupa ikan layang, lemuru, dan cumi dengan total kebutuhan pakan untuk setiap ekor tuna hingga panen mencapai 200 kg.

Meski terbilang mahal, pengembangan budidaya tuna sudah saatnya dilakukan sebagai antisipasi ancaman populasi tuna yang terus menurun. Rekayasa teknologi perlu terus didukung dan dikembangkan sebagai solusi terhadap keberlanjutan populasi tuna sirip kuning. (BM Lukita Grahadyarini)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140612kompas/#/19/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar