Rabu, 4 Juni 2014
KEBIJAKAN sektor pangan nasional saat ini belum menyentuh fondasi untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Hal tersebut terlihat dari tekanan dan permasalahan kaum tani.Pertama, pemerintah masih mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan pangan seperti beras, kedelai, dan daging sapi. Kedua, ketimpangan antara distribusi luas tanah pertanian dan konsumsi semakin melebar. Ketiga, konflik agraria semakin tinggi."Apabila tekanan dan permasalahan tersebut tidak ditangani, Indonesia berpotensi mengalami krisis pangan," cetus Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, dalam diskusi publik bertajuk Peta Jalan Pembaruan Agraria, Kedaulatan Pangan, dan Kemakmuran Desa dalam Visi Misi Capres-Cawapres Jokowi-JK, di Jakarta, kemarin.
Harapan kedaulatan pangan, menurut Henry, muncul dari visi dan misi pasangan capres-cawapres Joko Widodo dan Jusuf Kalla.Dalam visi dan misi mereka, terdapat sembilan agenda prioritas di sektor pertanian. Agenda itu antara lain perbaikan irigasi rusak di 3 juta hektare sawah, 1 juta hektare lahan sawah baru di luar jawa, pendirian bank petani dan UMKM, pendirian gudang dengan fasilitas pengolahan pascapanen di tiap sentra produksi, penguatan teknologi pertanian, serta mendorong reformasi agraria dan kepemilikan tanah 9 juta hektare.
"Minimal ada penambahan luas areal sawah baru.Sehingga dapat meningkatkan produksi pangan nasional," tegas Ketua Presidium Seknas Tani tim Jokowi-JK tersebut.Di tempat yang sama, anggota tim ekonomi pasangan Jokowi-JK, Arief Budimanta, mengingatkan besaran defisit transaksi berjalan yang menekan perekonomian disumbangkan oleh negatifnya neraca dagang nasional akibat impor yang lebih tinggi daripada ekspor."Salah satu pendorong impor kan pangan. Impor beras sebesar 250 ribu ton pada 2004, sekarang jadi 2 juta ton di 2013," sebut dia.
http://www.mediaindonesia.com/hottopic/read/894/Impor-Pangan-Berujung-Krisis/2014/06/03
Tidak ada komentar:
Posting Komentar