Rabu,7 September 2016
Harga Bawang Mahal karena Panjangnya Mata Rantai Distribusi
BREBES, KOMPAS — Karut-marut masalah bawang merah yang berimbas pada melonjaknya harga jual di tingkat konsumen semata-mata bukan karena persoalan produksi. Itu karena tidak ada perlindungan serius sejak proses produksi hingga mata rantai distribusi.
Akibatnya, petani tidak pernah menikmati kenaikan harga. Seluruh keuntungan itu justru dirasakan oleh para pelaku di rantai pasok distribusi.
Ibarat jatuh tertimpa tangga. Para petani, selain terganjal oleh kemarau basah, juga mahalnya bibit bawang merah. Hal ini mengakibatkan luasan tanam menurun. Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Kabupaten Brebes Budiharso, Selasa (6/9), mengungkapkan, ada penurunan luasan lahan tanaman bawang merah, tetapi hanya sekitar 5 persen.
Menurut data, ada penurunan sekitar 100 hektar dari total luas tanam bawang merah yang mencapai 25.000 hektar per tahun. Penurunan tak terlalu berpengaruh karena masih ada panen di wilayah Brebes, yakni di Kecamatan Brebes, Jatibarang, Songgom, dan Wanasari.
Jadi, tingginya harga bawang merah bukan karena faktor produksi, kata Budiharso, melainkan ada masalah di rantai distribusi. Faktanya, sejak awal tahun hingga sekarang, harga bawang merah tidak pernah rendah. Padahal, produksi bawang merah jalan terus dan tidak ada yang puso.
Mata rantai
Persoalan pada sistem distribusi juga diakui oleh Ketua Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) Juwari. Saat ini, harga bawang merah di tingkat petani di Brebes Rp 25.000 per kilogram (kg). Namun, harga di tingkat pengecer mencapai Rp 40.000 per kg.
Hal ini karena rantai perdagangan bawang merah berlapis-lapis. Mata rantai itu mulai dari calo penebas, pedagang penebas (pedagang yang membeli bawang merah dengan sistem borongan di sawah), pedagang pengirim ke pasar induk, pedagang pemilik gudang di pasar induk, pedagang grosir, hingga pedagang eceran.
Keuntungan terbesar biasanya dinikmati oleh pedagang eceran yang langsung menjual ke konsumen. Bahkan, ABMI pernah menemukan pedagang eceran mengambil untung hingga Rp 10.000 per kg. "Kulakan di Pasar Cibitung di Bekasi Rp 31.000 per kg dan menjualnya secara eceran Rp 48.000 per kg," kata Juwari.
Sayangnya, hingga saat ini, belum ada aturan dari pemerintah yang membatasi besaran keuntungan yang boleh diambil oleh pedagang. Terlebih bawang merah merupakan komoditas yang bebas dijual di pasar.
Persoalan tata niaga bawang merah juga dikeluhkan petani di Kabupaten Demak. Penelusuran Kompas di sentra bawang merah di Desa Pasir, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak, harga bawang merah di tingkat petani Rp 15.000-Rp 17.000 per kg. Namun, ketika sampai di sejumlah pasar tradisional di Semarang menjadi Rp 35.000 per kg.
Empat lapis
Menurut Sekretaris Kelompok Tani Sido Maju Desa Pasir, Demak, Abdul Wakhid, rantai perdagangan bawang merah mulai dari petani hingga pasar bisa mencapai empat lapis. Kebanyakan petani menjual bawang merah ke tengkulak. Setelah itu dijual lagi ke agen besar. Petani sulit menjual hasil panen langsung ke pasar karena banyak yang terjebak utang kepada tengkulak.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Demak Wibowo mengungkapkan, produksi bawang merah di Demak rata-rata 23.000 ton per tahun. Ia mengungkapkan, tata niaga bawang merah terlalu panjang karena dikuasai mekanisme pasar.
Namun, Juwari buru-buru mengatakan, harga bawang merah di tingkat petani saat ini masih wajar. Sebab, titik impas produksi Rp 16.000-17.000 per kg. Dengan harga Rp 20.000-Rp 25.000 di tingkat petani, petani masih bisa menikmati untung.
Juwari memperkirakan harga bawang masih tinggi seiring dengan tingginya permintaan bawang merah jelang Idul Adha. Diperkirakan sampai September ini harga bawang merah sekitar Rp 28.000 per kg di tingkat petani. Sementara di tingkat pedagang bisa mencapai Rp 45.000 per kg.
Panen buruk
Ketua Asosiasi Petani Bawang Merah Jawa Timur Akad menilai wajar jika saat ini harga bawang merah mahal. Panen yang buruk mengakibatkan produksi bawang merah berkurang sehingga pengadaan benih juga berkurang. Kondisi ini memicu kenaikan harga benih yang terbatas.
Penurunan produktivitas juga dikeluhkan oleh petani di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Produktivitas mereka turun hingga 50 persen. Menurut Dodo (54), petani di Desa Panembong, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, penurunan produktivitas tanaman bawang merah karena cuaca.
Dari lahan seluas 1.400 meter persegi, produksi yang dipanen hanya 1,5 ton. Padahal jika kondisi cuaca normal, bisa mencapai 4 ton bawang merah.
Di tengah penurunan produktivitas, petani harus memikul beban mahalnya biaya sarana produksi pertanian. Harga pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja naik. Kenaikan harga bawang merah di tingkat petani mencapai Rp 22.000-Rp 24.000 per kg, tetapi tetap saja petani tidak pernah menikmatinya.
Kondisi cuaca yang tidak mendukung juga dirasakan petani bawang merah di Nganjuk, Jawa Timur. Faktor cuaca menyebabkan produktivitas turun hingga 50 persen. Harga benih juga mencapai Rp 70.000 per kg.
Mulyono (35), petani di Dusun Bagor Wetan, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk mengatakan, dari lahan 0,25 hektar, hanya mendapatkan hasil panen 2 ton. Biasanya ia bisa memanen hingga 4 ton. Petani tidak menikmati harga meski di tingkat konsumen harganya mencapai Rp 27.000 per kg.
(WIE/GRE/TAM/DEN)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160907kompas/#/20/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar