Jumat, 16 September 2016

Masyarakat Enggan Konsumsi Daging Kerbau India

Kamis, 15 September 2016


BANDUNG, (PR).- Hingga saat ini, Bulog Divre Jabar masih belum melakukan distribusi daging kerbau impor ke sejumlah daerah di Jabar. Sebabnya, Bulog Divre Jabar belum menerima permintaan terhadap komoditas tersebut dari masyarakat Jabar. Akan tetapi, Bulog Divre Jabar menyatakan kesiapannya bila sewaktu-waktu ada permintaan dari masyarakat untuk mengonsumsi komoditas tersebut. Pasokan sudah tersedia di pusat bahkan ada rencana penambahan pasokan dan jalur distribusi sudah disiapkan.

Hal itu disampaikan Ketua Bulog Divre Jabar, Alip Afandi kepada "PR" di Bandung. Kamis, 15 September 2016.

"Daging kerbau memang sudah tidak asing lagi bagi warga Jabar dan ada beberapa warga di daerah tertentu yang biasa mengonsumsi daging kerbau. Akan tetapi, berkaitan dengan daging kerbau impor dari India, memang hingga saat ini belum ada permintaan dari masyarakat. Respon yang banyak diterima oleh Bulog Divre Jabar semenjak pemerintah pusat memasarkan daging kerbau di sekitar Jabodetabek yakni baru sekedar bertanya. Mereka melihat pemberitaan dan penasaran mengenai daging yang dijual Rp 65.000 per kg, kami mengatakan dan memberikan penjelasan bahwa itu daging kerbau impor untuk masyarakat," ujar Alip.

Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf mengatakan, saat ini, daging kerbau impor asal India sudah terlanjur masuk ke Indonesia. Sementara itu, di sisi lain PPSKI tetap pada sikapnya untuk menolak daging impor asal negara yang belum bebas Penyakit Mulut dan Kuku. Adapun terkait Sanitary and Phytosanitary (SPS) Agreement yang dilakukan oleh pemerintah pusat, Rochadi menilai, perlu adanya transparansi terkait standardisasi yang dilakukan pemerintah dalam melakukan seleksi atau pemeriksaan terhadap daging kerbau impor asal India.

"Kami kalangan peternak sudah tentu menolak keberadaan daging impor asal India. Sebab, kami tentu berupaya keras agar selalu menyediakan pasokan daging yang segar dan higienis bagi para konsumen. Oleh karena itu, adanya daging impor asal India sebetulnya memosisikan para konsumen mengonsumsi komoditas yang memiliki risiko tinggi. Kami sangat menyayangkan hal yang dilakukan pemerintah," ujarnya.

Lebih jauh lagi, Rochadi menilai, untuk sejumlah daging kerbau impor India yang sudah masuk ke pasaran, terutama pasar tradisional, pemerintah mesti menjamin pemasarannya jelas, transparan, dan tidak membodohi masyarakat. Konsumen mesti mengetahui dengan jelas, bahwa daging yang dibelinya seharga Rp 65.000 per kg memang daging kerbau impor, jangan sampai disamarkan, atau bahkan dicampurkan dengan daging lainnya. Pengawasan pemerintah terhadap hal itu mesti tegas.

"Saya cukup mengapresiasi yang dilakukan di sekitar Kabupaten Bekasi. Para penjual dengan jelas memberikan keterangan, daging kerbau, harga Rp 65.000 per kg. Dengan demikian, konsumen bisa memilih dengan jelas dan persaingan di pasar juga terjadi dengan sehat," katanya.

Persatuan Pedagang Pasar dan Warung Tradisional (Pesat) Jabar melalui ketuanya Usep Iskandar Wijaya juga masih dalam sikapnya yakni menolak kebijakan pemerintah pusat untuk melakukan impor daging kerbau dari India. Sebabnya, mekanisme impor tidak menjadikan Indonesia mandiri dan justru akan merugikan para peternak sapi rakyat. Alih-alih impor, mestinya pemerintah berupaya untuk meningkatkan produktivitas para peternak sapi. Dengan demikian, Indonesia termasuk Jabar tidak akan mengalami defisit daging sapi. Pesat Jabar menilai, pemerintah pusat terlalu mengandalkan impor dan sedikit-sedikit impor.

"Hingga kapan pemerintah akan terus demikian, sedikit-sedikit impor. Hal ini sama saja menjadikan Indonesia memiliki ketergantungan pada negara lain. Apalagi, belajar dari upaya sebelumnya, yakni impor daging sapi beku, upaya tersebut tidak efektif menurunkan harga daging sapi segar. Alih-alih menurunkan harga, upaya tersebut malah merugikan para pedagang daging sapi segar di pasar tradisional. Sebab, mereka mesti bersaing dengan harga daging sapi beku. Di sisi lain, mereka menjual dengan harga tinggi karena membeli ke bandar dengan harga tinggi pula," ujarnya menjelaskan.

Ia menjelaskan, harga akan sulit turun karena memang konsumen tidak bisa dipaksa untuk beralih komoditas. Dengan demikian, konsumen yang biasa membeli daging sapi segar sulit untuk beralih dan akhirnya permintaan terhadap komoditas tersebut tidak akan berubah, masih tetap tinggi, harganya juga tentu saja akan bertahan. Ia mengatakan, bila dengan daging sapi beku saja tidak efektif, apalagi menggunakan daging kerbau beku yang jelas-jelas tekstur dan rasanya berbeda. Menurutnya, pemerintah sudah saatnya berhenti dari ketergantungan impor.***

http://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/2016/09/15/masyarakat-enggan-konsumsi-daging-kerbau-india-379843

Tidak ada komentar:

Posting Komentar