Kamis, 01 Oktober 2015

Impor Pangan Sama dengan Bunuh Diri Massal Petani

Rabu, 30 September 2015

Beberapa waktu yang lalu diadakan pertemuan antara wakil Presiden, Menteri Negara BUMN, Menteri Pertanian, dan Direktur Utama BULOG yang diperkirakan membahas persediaan beras dan dampak iklim ekstrim El Nino. Seusai pertemuan, Wapres Jusuf Kalla memberi isyarat bahwa impor beras dapat dilakukan jika pasokan dan stok beras tidak mencukupi. Namun selang sehari, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pemerintah belum memutuskan untuk impor beras. Terakhir Ketua MPR menimpali, kalau kurang beras sebenarnya memang lakukan saja impor beras.

Sikap banci pemerintah di bidang pangan dan pertanian untuk impor atau tidak impor beras di atas hendaknya segera diubah. Hal ini mengingat bahwa pertanian pangan melibatkan banyak faktor dan pada prakteknya membutuhkan kepastian. Selain itu sebagai komoditas yang sensitif dari segi harga dan stok, bidang pangan mengharuskan kesiapan, kecermatan, dan keandalan dalam mengendalikan berbagai variabel makro politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

MENGALAMI MALAPETAKA

Akan tetapi setelah Bung Karno menyatakan bahwa pangan adalah soal hidup-matinya bangsa, rezim-rezim berikutnya tidak secara konsisten dan konsekuen melaksanakan amanat tersebut. Rezim Suharto menaruh minat terhadap swasembada pangan, tetapi di lain pihak membiarkan potensi pertanian tergerus oleh pembangunan sektor lainnya. Setelah reformasi sejak era Gus Dur sampai rezim sekarang, dalam urusan pangan, pemerintah masih terbatas meneriakkan slogan dan bertindak plin-plan.

Pada tahun 1952 saat peletakan batu pertama Institut Pertanian Bogor (IPB) Bung Karno berpidato: “Rakyat Indonesia akan mengalami celaka, bencana, malapetaka dalam waktu dekat, kalau soal makanan rakyat tidak segera dipecahkan. Sedangkan soal persediaan makanan rakyat ini bagi kita adalah soal hidup atau mati. Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak camkan soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, secara radikal, dan revolusioner; kita akan mengalami malapetaka”.

Mengatasi pangan dengan cara menerjemahkan pidato Bung Karno tersebut, itulah tantangan kita saat ini. Namun celaka, bencana, dan malapetaka yang disebut-sebut Bung Karno itu sayangnya sudah terjadi saat ini. Antara tahun 2000 – 2010 laju impor komoditas tanaman pangan utama mengalami laju perkembangan nilai yang fantastis; beras (25,35%), jagung (34,13%), kedelai (3,81%), kacang tanah (15,33%), ubi jalar (27,57%), dan ubi kayu (29,19%). Padahal semua komoditas ini sebenarnya merupakan tanaman pangan tradisional yang sudah sejak dahulu kita tanam sendiri di negeri ini.

Indonesia akhirnya sekarang telah menjadi negara importir pangan terbesar dengan nilai impor mencapai 12 miliar dolar AS setahun. Impor pangan Indonesia dengan jumlah penduduk peringkat keempat ini bahkan mengungguli India dan Cina. Di Indonesia anehnya nilai impor komoditas pangan selalu meningkat menjelang diselenggarakannya Pemilu/Pilpres di tanah air.

MENTALITAS CALO HAMBAT PERTANIAN PANGAN

Ketergantungan terhadap impor pangan tampaknya sulit diretas mengingat keuntungan dari impor pangan sangat menggiurkan. Alpanya pemerintah dalam pengendalian harga pangan telah menciptakan disparitas harga yang cukup besar antara di luar dan dalam negeri yang menyisakan profit margin yang luar biasa bagi perusahaan yang memegang ijin impor. Arus deras impor produk pangan luar negeri inilah yang membuat collaps pertanian dalam negeri

Apalagi jika ada kaitan erat antara kebijakan impor pangan dengan kekuasaan politik, maka impor pangan akan menjadi perilaku elit yang edicted (nagih). Belum hilang ingatan kita bagaimana Bulog berpuluh tahun menjadi ATM dari partai-partai berkuasa. Selain itu muncul pula skandal perijinan daging dan sapi impor oleh oknum petinggi partai tertentu. Semua ini membuktikan masih suburnya mentalitas calo di kalangan pejabat dan para kroninya.

Jika saat ini pemerintah mencanangkan UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), maka program ini tentu akan kandas. Apa artinya petani Indonesia berdaulat di bidang pangan dengan menguasai seluruh rantai produksi pangan, jika keran impor pangan terus dibiarkan mengocor. Ibaratnya pembukaan keran impor pangan tanpa kendali tersebut akan menggembosi UU Nomor 41 Tahun 2009 yang sebenarnya sudah pula ditindak-lanjuti dengan macam-macam peraturan pemerintah (PP) yang dikeluarkan antara tahun 2011 – 2012.

Apalagi UU Nomor 41 Tahun 2009 tersebut tidak memiliki insentif yang handal dalam mempengaruhi petani untuk mempertahankan tanahnya agar tetap digunakan bagi pertanian pangan. Pasalnya, nilai tukar petani (NTP) tanaman pangan sangat rendah, sedangkan peraturan perundangan bidang pangan tidak pernah lebih jauh menyentuh faktor-faktor produksi mendasar dan indek harga (IT/IB) petani tanaman pangan. Pada bulan Agustus 2015, NTP di beberapa provinsi menurun. Hal ini tentu akan menurunkan ekspektasi bagi mereka yang hidup dari pertanian pangan.

DAMPAK RENTE YANG BRUTAL

Semua ini kalau dirunut akan sampai pada pertanyaan, sejauh mana pemerintah benar-benar memiliki keberpihakan atas pertanian pangan? Negara-negara maju, seperti Jepang, Korea, Amerika, Australia, Selandia Baru, dan negara-negara Eropa; berhasil karena mendahulukan pangan sebagai modalitas untuk mendongkrak kemajuan di sektor-sektor lain. Beberapa negara maju lain yang kaya akan sumber daya alam, walau tidak mengawali dengan pembangunan pertanian pangan, tetapi mereka sadar membutuhkan modal yang bisa diakumulasikan untuk pembangunan ekonominya.

Tetapi Indonesia yang berada di katulistiwa, yang memiliki potensi pertanian sangat besar, ternyata menyia-nyiakannya sampai saat ini. Sedangkan sumber daya alam pun menjadi korban perburuan rente yang brutal, tanpa mampu mengakumulasikan nilai tambah apapun. Sangat menyedihkan jika saat ini kita malahan menjadi negara yang terus bergantung pada negara pemberi hutang pada peringkat 8 di dunia dengan jumlah hutang 30 triliun rupiah.

Penghargaan yang rendah terhadap potensi pertanian dan sumber daya alam bersamaan dengan mental korup yang melanda elit kekuasaan dan birokrasi menyebabkan hasil pembangunan tidak terakumulasi sebagai devisa yang solid untuk membiayai pembangunan. Tingkat kebocoran akibat korupsi dalam pembelanjaan serta pemasukan devisa dan pajak, menurut ICW adalah sebesar 10% dari APBN. Kalau nilai APBN 1.800 triliun rupiah, maka kebocoran dalam 1 tahun adalah 180 triliun rupiah.

POSISI INDONESIA DI BAWAH TITIK NADIR

Setelah tujuh puluh tahun, Indonesia juga masih dikategorikan sebagai negara gagal (peringkat ke 63 dari 178 negara gagal). Dalam hal ini Indonesia masih kalah dari Thailand (84), Vietnam (96), Malaysia (110), Brunei Darussalam (123), dan Singapura (157). Dalam hal korupsi, walau skor indeks korupsi Indonesia naik dari 32 menjadi 34, tetapi Indonesia masih jauh di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Sedangkan di antara negara-negara ASEAN, peringkat daya saing sumber daya manusia masih berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina.***

Ir. S. Indro Tjahyono, Koordinator Relawan Jokowi – JK

http://www.kompasiana.com/sindrotj/impor-pangan-sama-dengan-bunuh-diri-massal-petani_560b4825d593733f048b4567

Tidak ada komentar:

Posting Komentar