Sabtu, 3 Oktober 2015
Isu beras masuk titik krusial: impor atau tidak impor. Cukup atau tidak cukup. Pro dan kontra soal impor dan tidak impor beras kini bukan lagi antara Kementerian Pertanian dengan Kementerian Perdagangan dan Perum Bulog, melainkan juga antara Presiden dan Wakil Presiden.
Wakil Presiden Jusuf Kalla setelah memimpin rapat terbatas di kediamannya pada 21 September 2015 menyatakan perlunya pemerintah mengambil opsi mengimpor beras. Rapat dihadiri Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri BUMN, Menteri Pertanian, dan Menteri Perdagangan.
Opsi impor perlu karena pemerintah tak mau mengorbankan masyarakat, dengan membuat kebijakan berdasarkan prediksi produksi yang bisa salah. Stok beras Bulog yang hanya 1,7 juta ton dinilai tidak cukup untuk stabilisasi harga dan raskin.
Pandangan perlunya impor berkaca dari data riil harga beras yang cenderung tinggi dibandingkan tingkat harga tahun lalu. Juga dari disparitas harga beras kualitas medium di pasar dengan harga pembelian pemerintah yang cukup tinggi, serta pertimbangan ancaman El Nino dan pertambahan jumlah orang miskin 860.000 orang pada September 2014-Maret 2015.
Presiden Joko Widodo, seusai panen padi varietas IPB-3S di Karawang, Jawa Barat, menyatakan, pemerintah saat ini belum memutuskan impor beras. Perlu dilakukan kalkulasi cermat terkait ketersediaan beras dan dampak El Nino.
Presiden menekankan stok beras 1,7 juta ton di Bulog akan bertambah 200.000-300.000 ton pada panen Oktober-November 2015. Jadi, ketersediaan beras dinilai akan cukup.
Polemik impor atau tidak impor beras seharusnya tidak perlu terjadi jika data neraca kebutuhan dan ketersediaan beras nasional akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Sayangnya tidak demikian. Lihat saja data neraca beras dalam sepuluh tahun terakhir.
Dari data produksi padi, Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada tahun 2004 produksi padi nasional 54,09 juta ton gabah kering giling (GKG) setara 30,41 juta ton beras. Dengan konsumsi beras per kapita 139,15 kilogram per tahun, total konsumsi beras nasional 30,32 juta ton. Dengan begitu, pada akhir 2004 ada surplus beras 90.652 ton.
Tahun 2010, produksi padi nasional naik menjadi 66,47 juta ton, setara 37,37 juta ton beras. Dengan konsumsi beras per kapita yang hanya 130,85 kilogram per tahun (mengacu perencanaan), total kebutuhan beras nasional 31,21 juta ton.
Pada periode 2004-2010 produksi beras terus naik, sementara konsumsi ditargetkan menurun. Akumulasi surplus produksi terhadap konsumsi selama 2004-2010 menghasilkan total surplus beras di akhir 2010 sebesar 15,76 juta ton.
Perhitungan sama berlaku untuk tahun 2014. Dengan produksi padi 70,83 juta ton GKG setara 39,82 juta ton beras, dengan konsumsi beras per kapita yang hanya 125,6 kilogram per tahun (mengacu perencanaan), akumulasi surplus produksi beras 2014 mencapai 45,41 juta ton. Surplus terus naik, tetapi ke mana surplus beras tadi berada?
Melihat realitas tersebut, sudah saatnya pencatatan data di negeri ini perlu dibenahi. BPS bisa mengatakan bahwa pihaknya hanya kebagian menghitung produktivitas tanaman padi per hektar, sementara data luas areal panen didapat dari kementerian teknis, dalam hal ini Kementerian Pertanian.
Data luas areal panen dari Kementerian Pertanian itu pun bukan data hasil pengukuran sendiri, melainkan merupakan laporan dari sejumlah daerah. Kendati hanya menghitung produktivitas, BPS mempunyai tanggung jawab moral sebagai lembaga yang menyediakan data atau statistik.
Meski data luas areal panen dari kementerian teknis, data produksi padi/beras nasional dipublikasikan atas nama BPS. BPS perlu mempertanggungjawabkan data itu kepada publik.
Polemik beras, yang merupakan sumber pangan utama bangsa Indonesia, sekaligus mencerminkan buruknya kualitas pengelolaan data di negeri ini.
(HERMAS E PRABOWO)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/151003kompas/#/17/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar