Pemerintah Akan Terus Serap Beras dari Petani
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menggelontorkan beras premium ke lima kota sebanyak 300.000 ton secara bertahap melalui operasi pasar. Langkah operasi pasar beras oleh Perum Bulog mulai Jumat (2/10) itu dilakukan untuk mengendalikan gejolak harga di pasar.
Presiden Joko Widodo, Menteri BUMN Rini M Soemarno, dan Dirut Perum Bulog Djarot Kusumayakti meninjau persediaan beras premium di salah satu gudang Bulog Divre DKI Jakarta, seusai peluncuran Operasi Pasar Bulog di Pergudangan Bulog Divre DKI Jakarta, Jumat (2/10). Presiden meluncurkan 1.034 ton dari total 300.000 ton beras premium untuk operasi pasar bertahap seharga Rp 8.700-Rp. 9.700 per kilogram di lima kota besar di Indonesia. Operasi pasar itu untuk mengendalikan harga beras.
Beras yang digelontorkan itu dijual pada kisaran harga Rp 8.700 per kilogram (kg) sampai Rp 9.700 per kg. Adapun, lokasi operasi pasar (OP) beras dilakukan di Medan (110 ton), DKI Jakarta (480 ton), Bandung (144 ton), Semarang? (130 ton), dan Surabaya (170 ton). Pada penyaluran hari pertama di lima kota Jumat, Bulog mendistribusikan 1.034 ton beras.
Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) Djarot Kusumayakti meminta agar beras yang disalurkan itu beras berkualitas.
"Untuk meringankan beban rakyat menghadapi musim paceklik, pemerintah menginstruksikan operasi pasar. Tujuannya, mengendalikan gejolak harga sehingga rakyat dapat membeli beras dengan harga terjangkau," kata Djarot, Jumat, di kawasan Pergudangan Sunter, Bulog Divisi Regional Jakarta.
Melalui sambungan komunikasi jarak jauh, Djarot melarang perwakilan Bulog di Medan, Bandung, Semarang, dan Surabaya menyalurkan beras yang tidak layak. Dalam pembicaraan itu, ia berharap penggelontoran beras itu dapat menurunkan harga beras Rp 300-Rp 500 per kg.
Di Jakarta, selain 60 truk beras, Bulog juga menyalurkan 3 truk daging berisi 6 ton dan 1 truk memuat 8 ton gula pasir. Semua bahan kebutuhan pokok itu disalurkan ke 21 pasar tradisional yang tersebar di seluruh Ibu Kota.
Presiden Joko Widodo ?menyampaikan kegembiraannya bahwa sesuai survei Badan Pusat Statistik (BPS), nilai tukar petani naik mendekati 2 persen. Pada sumber data yang sama, terjadi kenaikan harga beras 2 persen. Berangkat dari kenyataan itu, pemerintah perlu melakukan OP untuk stabilisasi harga.
"Supaya kenaikan itu tidak terus (terjadi) dan bisa dikendalikan pada harga yang wajar, yang terjangkau masyarakat," kata Presiden Joko Widodo.
Peluncuran distribusi beras dalam OP sekaligus dimaksudkan untuk menunjukkan kepada publik bahwa stok beras pemerintah masih ada. Pada kesempatan itu, Presiden melihat stok yang tersimpan di gudang yang dipakai Bulog.
Menurut Presiden, stok beras juga tersimpan di gudang lain di Indonesia. Saat ini, stok beras pemerintah yang tersimpan di gudang Bulog masih 1,7 juta ton. Stok ini diperkirakan cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga 6 bulan ke depan.
Meskipun demikian, Presiden mengatakan, pemerintah akan terus menyerap beras petani dan pedagang di daerah yang saat ini masih panen, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada situasi seperti ini, peluang Bulog menambah cadangan stok masih sangat terbuka.
Walaupun El Nino masih melanda sebagian wilayah Indonesia, pemerintah tetap ingin memperkuat cadangan beras. Presiden juga sampaikan pemerintah tetap akan memantau kondisi di lapangan. Hal ini menyangkut langkah kebijakan yang diambil pemerintah agar tepat sasaran.
"Hujannya turun kapan? Jika Oktober sudah turun hujan atau tidak, kita akan memutuskan. Agar petani senang, pedagang senang, dan masyarakat mendapatkan harga yang terjangkau," kata Jokowi.
Kondisi riil
Secara terpisah, dalam Forum Diskusi Kelompok yang diselenggarakan The Habibie Center, Cides, dan Program Bincang Bincang Agribisnis, di Jakarta, Jumat terungkap bahwa Badan Pusat Statistik perlu independen. Data produksi pangan BPS harus bisa mencerminkan kondisi riil di lapangan dan jangan sampai dipolitisasi. Pemerintah diminta agar berhati-hati mendasarkan kebijakan pangan pada data perkiraan produksi padi oleh BPS.
Dalam diskusi bertema "El-Nino 2015 dan Masa Depan Ketahanan Pangan Indonesia", tampil sebagai pembicara, antara lain, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Dwi Andreas Santosa, Direktur Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati, Dewan Pakar The Habibie Center Indria Samogo, dan Rudi Wahyono dari Cides.
Dwi Andreas mengatakan, gejolak pangan, terutama beras, sedang dan akan terjadi pada 2015. Gejolak pangan terjadi akibat kesalahan pengambilan kebijakan yang didasarkan kesalahan data dan perkiraan produksi padi. Kebijakan pangan nasional tidak didasari kondisi riil di lapangan, di tengah ancaman produksi karena dampak perubahan iklim El-Nino.
Menurut Enny, jika sampai BPS salah menghitung produksi padi, bangsa Indonesia akan menanggung akibatnya. "BPS harus bisa independen, jangan sampai dipolitisasi," katanya. Bisa saja dalam menghitung produksi padi, BPS salah menghitung. Namun, yang utama, BPS harus terbuka.
(NDY/B07/MAS)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/151003kompas/#/19/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar