Senin, 19 Oktober 2015
AKHIRNYA, perihal benar-tidaknya data pangan nasional, terutama dan khususnya beras, kian kencang mencuat ke permukaan.
Pasalnya, aparatur negara, yaitu Bulog, Kementerian Pertanian, dan BPS, memiliki data berbeda sehingga kita tidak tahu data siapakah yang benar.
Paling mutakhir, ihwal benar-tidaknya data stok nasional beras dipersoalkan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat menghadiri peringatan Hari Pangan Sedunia Ke-35 di Desa Palu, Kecamatan Pemulutan, Ogan Ilir, Sumatra Selatan, Sabtu (17/10).
Wapres memperkirakan jumlah produksi beras nasional sekitar 28,5 juta ton per tahun.
"Kalau ada beras yang jumlahnya lebih dari itu, di mana gudangnya?"
Ia keras mengatakan soal cadangan pangan tidak boleh hanya dicitrakan, tetapi juga harus dibuktikan keberadaannya.
Beras itu urusan perut.
Tidak ada perut lapar dapat dikenyangkan pencitraan.
Orang di dapur tidak dapat menanak beras yang disimpan dalam gudang angan-angan.
Bila kelaparan meledak secara mendadak dan merebak secara nasional karena kelangkaan beras, sudah pasti berdampak sangat serius terhadap stabilitas politik.
Itulah sebabnya, Wapres mempersoalkan permainan data pangan dengan nada keras.
Pertanyaan Wapres itu mendasar, menyangkut kejujuran.
Sangat besar keraguan akan kebenaran data beras sehingga harus ditunjukkan di mana gerangan stok beras disimpan.
Ya, di mana gudangnya di kolong langit di Republik ini?
Apa sulitnya menjawab pertanyaan Wapres itu? Apa sulitnya menunjukkan gudang?
Namun, percayalah, tidak satu pun kiranya pemangku kepentingan dapat menjawab pertanyaan Wapres itu.
Tidak satu pun dapat membuktikan bahwa data stok beras nasional memang sesuai dengan kenyataan, sesuai fakta, dengan menunjukkan gudangnya.
Bukan perkara baru bahwa data cenderung dikemas sesuai dengan kepentingan.
Data dibikin cantik bila menyangkut kinerja. Data dibikin jelek bila menyangkut besarnya dana bantuan.
Contoh, pemerintah daerah tidak malu membuat data lebih banyak warga miskin daripada senyatanya demi mendapatkan lebih banyak raskin serta dana bantuan tunai untuk orang miskin.
Kepalsuan data ekonomi, khususnya pangan, pernah saya tulis di rubrik ini.
Kebohongan mengenai data beras harus diaudit, diinvestigasi, diakhiri.
Tapi siapa mengakhirinya? Dalam bahasa lain, masak Wapres sendiri turun ke lapangan dari gudang ke gudang, melakukan cacah beras?
Kayaknya gudang beras itu memang ada, jumlah stoknya pun sangat meyakinkan.
Akan tetapi, gudang itu kabarnya di Vietnam karena padinya ditanam, dipetik, dan digiling di sana.
Kayaknya? Kabarnya?
Bulog tidak berani menjawabnya. Demikianlah, bukan hanya perihal data terjadi kesimpangsiuran, untuk impor beras pun, sulit untuk jujur.
Padahal, semua orang waras dapat memahami dan menerima kenyataan, swasembada beras, terlebih ditimpa kemarau panjang, tak bisa diwujudkan dalam setahun pemerintahan.
Siapa pun presidennya.
Karena itu, impor beras bukan dosa asalkan dengan kesadaran bahwa impor hanya kebijakan sementara.
Kedaulatan pangan harus tetap menjadi komitmen untuk diwujudkan.
Sekali lagi, perut lapar tak dapat dikenyangkan pencitraan.
Satu-satunya pilihan ialah berterus terang kepada rakyat.
http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/16371/Data-Beras/2015/10/19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar