Minggu, 18 Oktober 2015
OGAN ILIR, KOMPAS — Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, masalah pangan rentan memicu masalah politik. Oleh karena itu, ia meminta agar tidak ada pihak yang mencoba memainkan data tentang pangan. Permainan data pangan bisa berimplikasi serius, bukan hanya pada masalah ekonomi, melainkan juga politik.
Kalla juga mengajak semua pihak serius dan obyektif dalam memahami persoalan pangan nasional. ”Kekurangan pangan bisa membuat tumbang suatukeadaan, di mana pun di dunia ini. Oleh karena itu, masalah pangan penting saya sampaikan,” kata Jusuf Kalla saat menghadiri peringatan Hari Pangan Sedunia Ke-35 di Desa Palu, Kecamatan Pemulutan, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu (17/10).
Peringatan Hari Pangan Sedunia itu dihadiri Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Gubernur Sumsel Alex Noerdin, peneliti pertanian, dan perwakilan kelompok tani. Pada acara itu, pemerintah memberikan penghargaan kepada peneliti pertanian serta bantuan traktor, pompa air, sarana produksi padi, dan alat panen kepada petani, kelompok tani, serta lembaga pemerintah.
Soal cadangan pangan, Kalla menyatakan, hal itu tidak boleh hanya dicitrakan, tetapi juga harus dibuktikan keberadaannya.
Namun, dia mengatakan, masih ada perbedaan data dari sejumlah pemangku kepentingan tentang jumlah konsumsi dan produksi pangan di Tanah Air.
Menurut Kalla, dalam beberapa tahun terakhir nyaris tidak ada ekspor beras dalam jumlah besar. Kenyataan ini mengindikasikan angka konsumsi dan produksi komoditas beras, misalnya, hampir sama. Tingkat konsumsi beras diperkirakan tak lebih dari angka 114 kilogram (kg) per orang per tahun. Artinya, total konsumsi beras nasional 28,5 juta ton per tahun, hasil pengalian dengan jumlah penduduk.
Jangan salah menghitung
Wapres memprediksi jumlah produksi beras nasional sekitar 28,5 juta ton per tahun. ”Kalau ada beras yang jumlahnya lebih dari itu, di mana gudangnya? Jangan sampai salah hitung, salah kira. Data ini harus dihitung cermat. Implikasinya bisa berbahaya jika tak dihitung cermat. Inimasalah kehidupan,” ujarnya.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli 2015, Kalla menyebut produksi gabah kering giling (GKG) nasional 2015 sebanyak 75,5 juta ton. Jika panen gabah itu dikonversi menjadi beras dengan angka estimasi 1 kg gabah menghasilkan 0,57 kg beras, hasil panen yang dirilis BPS sebesar 43 juta ton. Ada selisih 14,5 juta ton. Hal inilah yang dipertanyakan Kalla.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Hasil Sembiring mengungkapkan, perkiraan produksi padi 2015 oleh BPS mengalami koreksi pada angka ramalan II. ”Nanti akan ada koreksi terhadap produksi padi dalam angka ramalan II BPS yang diumumkan 2 November 2015,” katanya.
Hasil pun memastikan ketersediaan beras nasional cukup. Pasokan beras masih banyak. ”Di pasar, harga beras juga turun Rp 500 per kg dalam beberapa hari ini. Pasokan ada,” ujarnya.
Data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan menunjukkan, pada Agustus 2015 tercatat panen padi seluas 1,6 juta hektar setara 8,2 juta ton GKG. Adapun panen September 2015 seluas 1,21 juta hektar setara 6,21 juta ton GKG. Di Pulau Jawa pun masih ada panen padi 392.000 hektar. Hasil mengatakan, di beberapa daerah, peningkatan luas areal tanam padi signifikan. Di Sumsel, misalnya, luas areal tanam mencapai 700.000 hektar.
Peluang meningkatkan produksi pangan khusus padi melalui peningkatan produktivitas juga masih besar. Rata-rata produktivitas tanaman padi tahun 2015 baru 5,135 ton GKG per hektar. Padahal, potensinya bisa 13 ton GKG.
Perbaiki cara menghitung
Bustanul Arifin, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, mengingatkan, sudah saatnya pemerintah memperbaiki metode penghitungan data tentang pangan karena ada persoalan pada metode penghitungan produksi hasil pertanian. Selama ini, angka produksi pertanian adalah hasil perkalian dari angka produktivitas yang diukur BPS (ton per hektar) dikali area panen. Data luas panen dihitung oleh dinas pertanian di daerah tanpa pengukuran di lapangan, hanya dari perkiraan sejauh mata memandang. Inilah yang menjadi persoalan mendasar.
Begitu juga tentang perbedaan angka estimasi konversi dari gabah ke beras. Pemerintah lebih sering menggunakan angka 63 persen, yang berarti 1 kg GKG menghasilkan 0,63 kg beras. Menurut Bustanul, menurut kajian akademis, angka estimasi konversi dari gabah ke beras adalah 57 persen. (NDY/MAS)
http://print.kompas.com/baca/2015/10/18/Jangan-Memainkan-Data-tentang-Pangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar