Kamis, 08 Oktober 2015

ASTAGA, INDONESIA MENUJU SWASEMBADA IMPOR


Sukmadji Indro Tjahyono

Keterpurukan pertanian dan pangan Indonesia seharusnya tidak disikapi dengan panik dan mata gelap. Apalagi blingsatan seperti orang kebakaran jenggot. Tapi yakinlah bahwa di balik kegalauan itu pasti ada sebagian orang akan tenang-tenang dan berlagak pilon, karena sadar bahwa merekalah sumber masalah dan biang keroknya. Namun bagi orang yang “eling lan waspodo” sumber masalah itu dapat dibagi dalam tiga golongan saja, yaitu makro, meso, dan mikro.

MENGURAI PERMASALAHAN PERTANIAN

Tetapi sebenarnya ada hirarki lain untuk mengurai masalah pertanian, yaitu permasalahan pada tingkat konstitusi, paradigma/ideologi politik, kebijakan, peraturan-perundangan, managerial, dan teknis. Masing-masing level atau tingkat memiliki andil yang berbeda-beda sebagai faktor penyebab munculnya masalah. Metafor yang dapat digunakan dalam mengurai masalah adalah jangan mengkotak-katik sekering kalau lampu padam, mungkin masalahnya bukan pada kontrol tegangan, tetapi karena memang tidak ada arus listrik yang mengalir.

Penyelesaian masalah pangan, karenanya harus sistemik dan holistik. Untuk itu harus dihindari upaya penyelesaian sekedar agar tampak di mata publik atau penyelesaian masalah untuk pencitraan. Saat ini kita terjebak dengan bentuk upaya yang terakhir, sehingga cenderung menyelesaikan persoalan secara teknis yang sarat dengan berbagai kepentingan. Sebagai contoh pada masa rezim Suharto, untuk meningkatkan produktifitas telah dikeluarkan Inpres penggunaan sabit bergerigi yang menjadi bisnis keluarga yang notabene sebenarnya hanya memperbaiki rendemen panenan.

Mengatasi rendahnya produktifitas pangan, apakah betul hanya menyelenggarakan pengairan dan saluran irigasi? Tentu saat ini masalahnya sangat berbeda dengan pada saat Majapahit membangun saluran drainase dan irigasi. Saat ini air pertanian, walaupun diperlukan, bukanlah satu-satunya faktor produksi yang menentukan pencapaian target produksi pertanian. Apalagi dalam sistem yang semakin komplek dan pasar pangan yang semakin bebas atau liberal saat ini.

Oleh karena itu dalam meningkatkan produktifitas pangan dan mewujudkan kedaulatan pangan harus dicari titik permasalahan mana yang harus disentuh sehingga efektif dalam memberi solusi atas problem pertanian dan pangan kita. Penyelesaian pada hirarki atau tingkat yang lebih rendah, misalnya manajerial dan teknis, tidak ada artinya jika permasalahannya ada pada tingkat paradigma/ideologi, konsitusi, dan politik. Sebagai contoh, pemerintah menggunakan operasi khusus TNI untuk menjamin produktifitas beras. Namun hal ini tidak ada artinya jika kebijakan fiskal, keuangan, dan perdagangan tidak memberi insentif bagi pertanian dan nilai tukar petani (NTP).

PARADIGMA ABU-ABU

Problem utama kita yang mendasar adalah meluruskan terkait makna ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Paradigma jelas bukanlah slogan atau yel-yel yang cukup disablon di atas T-Shirt, tetapi harus diderifikasi dalam politik, kebijakan, peraturan-perundangan, manajerial, dan teknis. Sampai saat ini politik pangan kita belum menderifikasi paradigma kedaulatan pangan secara konsisten. Politik pangan Indonesia masih mengadopsi kebijakan pangan ala neo-liberal yang sangat pro-pasar (free-market) yang meminimalisir subsidi, terus menurunkan tarif impor pangan, dan meminimalisir intervensi pemerintah dalam perdagangan pangan.

Inti dari paradigma kedaulatan pangan seharusnya adalah menjiwai keyakinan bahwa pangan bukanlah sekedar komoditas yang semata-mata diatur oleh fungsi-fungsi ekonomi (bebas nilai). Pangan adalah benda sosial dan bukan sekedar benda ekonomi belaka. Yang dikembangkan seharusnya adalah agrikultur yakni pertanian yang didedikasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia, tetapi bukan agribisnis yang menjadikan pangan sebagai alat untuk mengejar keuntungan semata (profit motivated).

Berdasarkan pandangan tersebut, negara maju dengan sadar melakukan proteksi terhadap petani dan produk pertanian mereka. Kendati demikian di dunia internasional mereka malah mengkampanyekan anti proteksi dan anti dumping. Pada tahun 2003 pemerintah Amerika Serikat sendiri telah memberikan subsidi kepada petani mereka sebesar 1,7 miliar US dollar atau berarti 232 US dollar setiap hektar. Sedangkan 30 negara kaya lain memberi subsidi pertanian dalam bentuk sumbangan 30 persen untuk meningkatkan pendapatan petani dengan total nilai subsidi sebesar 280 milyar US dollar.

Namun di sini yang berlaku sebaliknya, Indonesia justru dengan ikhlas dan senang hati pada tahun 1989 menandatangani The Washington Concensus yang merupakan prakarsa AS, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia. Sebagai konsekuensinya Indonesia akhirnya harus melakukan liberalisasi perdagangan, swastanisasi, dan melakukan pencabutan subsidi, termasuk di bidang pangan. Sejak saat itu tanpa proteksi dan kendali fiskal yang efektif, Indonesia membebaskan impor produk pangan petani asing.

PETANI DIKORBANKAN

Bahkan sebaliknya, proyek-proyek untuk mendukung kedaulatan pangan dengan memandirikan petani malah direduksi oleh pemerintah. Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004, daerah irigasi 3.000 hektar ke atas menjadi kewenangan pusat, sedangkan provinsi dan kabupaten hanya diberi kewenangan pengelolaan daerah irigasi di bawah 3.000 hektar. Anehnya anggaran untuk pengelolaan daerah irigasi untuk provinsi dan kabupaten tersebut sulit diakses untuk dialokasikan, sehingga kabupaten dan provinsi menyerahkan kembali kewenangan pengelolaan daerah irigasi ke pusat.

Apalagi dana operasi dan pemeliharaan (O%P) jaringan irigasi tidak dialokasikan dengan cukup. Hal ini tentu bukan tidak disengaja. Pemerintah (pusat) berharap agar jaringan irigasi cepat rusak, sehingga akan menciptakan dana rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi yang besar sebagai proyek tahunan. Kejahatan birokrasi ini akhirnya kini justru membuat kewalahan pemerintah sendiri, sehingga 50 persen jaringan irigasi di Jawa rusak dan 27 persen perlu segera direhabilitasi.

Di lain pihak selama 20 tahun terakhir praktis kebijakan pertanian dan pangan didikte dan disubordinasi oleh Bank Dunia dan IMF. Sebagai kelanjutan dari liberalisasi kebijakan pertanian dan pangan, Indonesia sebentar lagi dipaksa menerima era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau masuk dalam arena pasar bebas. Sementara itu tidak ada affirmative action yang dilakukan pemerintah untuk memperkuat daya saing petani Indonesia.

Politik pangan liberal yang dikawal para komprador dielit kekuasaan menyebabkan pada akhir tahun 2012 saja impor pangan pokok beras naik 141 persen, jagung naik 89 persen, dan kedelai naik 19 persen. Sedangkan total impor biji-bijian (didominasi gandum) mencapai 17,2 juta ton. Sementara itu gerai super market 50 – 60 persen telah diisi oleh buah-buahan impor.

SWASEMBADA IMPOR

Semua ini membuktikan bahwa swasembada pangan sebagai subsistem dari kedaulatan pangan sebenarnya sudah ambruk. Impor pangan tampaknya semakin menjadi keniscayaan. Harga pangan di pasar internasional yang murah sebagai dampak dari subsidi yang diberikan pemerintah di negara maju terus menggoda semangat berdikari dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Ironis, bahwa yang terjadi saat ini justru swasembada yang ditopang oleh pangan impor.

Dalam berbagai kasus, pemerintah membiarkan petani dibantai oleh perusahaan asing di tanah airnya sendiri. Misalnya kasus petani Kediri, Budi Purwo Utomo, yang dihukum 6 bulan penjara karena melakukan pemuliaan bibit jagung transgenik yang dikeluarkan perusahaan trans-nasional. Demikian pula pemerintah memaksa petani Bulukumba menanam kapas transgenik di areal seluas 4.364.20 hektar milik Monsanto yang telah mengalami gagal panen total. Ini membuktikan bahwa Indonesia sebenarnya telah masuk dalam perangkap kendali dan ketergantungan yang diciptakan negara maju seperti diucapkan Henry Kissinger: “Control oil and you control the nations. Control food and you control the people”.***

http://www.kompasiana.com/sindrotj/astaga-indonesia-menuju-swasembada-impor_56123e48f97a6193068b4567


Tidak ada komentar:

Posting Komentar