MATARAM – Provinsi NTB dikenal sebagai daerah lumbung pangan nasional. Namun kenyataannya harga beras masih mahal. Parahnya lagi, kenaikan harga beras tersebut menyebabkan terjadinya inflasi, dan bertambahnya angka kemiskinan di NTB.
“Menurut saya, beras menjadi penyumbang inflasi ini sangat tidak biasa di NTB,” tegas Kepala Biro Administrasi Pembangunan dan Perekonomian Setda NTB H Manggaukang Raba beberapa waktu lalu.
Menurut Manggaukang, Badan Urusan Logistik (Bulog) Divisi Regional (Divre) NTB bersama Pemprov NTB, harus melakukan evaluasi lebih mendalam mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pasalnya, sangat tidak lazim beras menjadi komoditas yang berperan besar terhadap inflasi di NTB. Sementara dari data nasional justru terjadi deflasi pada bulan September 2015 lalu.
Sebagai daerah keenam penghasil beras terbesar untuk kebutuhan nasional, dia menilai sangat tidak masuk akal NTB mengalami kekurangan beras. Sementara produksinya mengalami surplus, dan mampu menyuplai kebutuhan sejumlah provinsi yang ada di Indonesia.
“Masalah beras ini menjadi perhatian TPID NTB dan Bulog untuk mencarikan solusinya,” ujarnya.
Terkait serapan pembelian gabah petani oleh Bulog, kata dia, juga harus menjadi perhatian. Seperti halnya, banyak sekali beras asal NTB yang keluar daerah. Di mana Bulog dari Jawa dan Bali justru membeli beras asal NTB, untuk memenuhi target pembelian Bulog di daerah tersebut. Sementara Bulog NTB menjadikan dalih kualitas yang tidak sesuai standar, sebagai alasan tidak bisa membeli gabah dari petani di NTB.
“Bagaimana bisa itu terjadi, kok Bulog di luar daerah yang menyerap beras kita,” katanya.
Manggaukang menyebut, data TPID NTB di empat pelabuhan jalan keluar di NTB seperti Pelabuhan Sape di Kabupaten Bima, Pelabuhan Badas di Sumbawa, Pelabuhan Lembar di Lombok Barat, dan Pelabuhan Tanjung di Lombok Utara, pada bulan Agustus 2015 beras asal NTB yang keluar mencapai 32 ribu ton. Sementara pada bulan September 2015 beras NTB yang dijual keluar itu mencapai 41 ribu ton lebih.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Hortikultura (TPH) NTB H Husnul Fauzi mengatakan, produksi beras mengalami surplus, tapi yang diserap oleh Bulog masih rendah. Ia menilai, hal itu disebabkan kualitas kemitraan antara pengusaha, petani, dengan Bulog masih rendah. Sehingga diperlukan tindakan di lapangan.
“Kemitraan mereka harus dibenahi, diperbaiki di lapangan,” ucap Husnul.
Bila melihat data produksi gabah kering giling (GKG) di NTB pada tahun 2014, kata dia, ada sebanyak 2,2 juta ton GKG. Sementara pada tahun 2015 ini mencapai 2,3 juta ton lebih GKG. Artinya produksi gabah terjadi peningkatan mencapai 9, 25 persen.
Kebutuhan di dalam NTB, untuk beras hanya 35 persen, sementara sebanyak 65 persen surplus. Namun harga beras melambung hingga Rp 11 ribu per kilogram (kg) di pasaran.
“Kami mengoreksi kenapa Bulog serapan rendah. Jika alasan karena kualitas menjadi penyebabnya, tapi kenapa Bulog di Jawa dan Bali justru membeli beras yang dikatakan kulitasnya rendah dari NTB,” pungkasnya. (ewi/r4)
http://www.lombokpost.net/2015/10/12/kemitraan-bulog-harus-dikoreksi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar