Rabu, 07 Januari 2015

Raskin, Tidak Untuk Dilestarikan

Selasa, 6 Januari 2015

Raskin, Tidak Untuk DilestarikanSemangat awalnya, program Raskin (beras untuk masyarakat miskin), memang tidak dirancang untuk permanen. Program Raskin sengaja dilahirkan hanya untuk emergency sebagai jawaban atas krisis multi dimensi yang ketika itu melanda warga dunia. Dampak krisis ekonomi dunia, yang akhirnya menumbangkan era Orde Baru, dan mematrikan diri dimulainya era Reformasi di negeri ini, rupanya memaksa kepada Pemerintah untuk menelorkan program yang berorientasi pada perlidungan dan pembelaan terhadap masyarakat miskin. Program Raskin adalah wujud keseriusan Pemerintah untuk membantu pengeluaran masyarakat miskin, khususnya dalam mengurangi kebutuhan pokok.

Program Raskin, yang sejatinya adalah bentuk kecintaan Pemerintah terhadap masyarakat miskin, nampaknya betul-betul berkenan dinurani kaum miskin. Akibatnya, program Raskin yang semula dirancang hanya bersifat sementara, pada akhirnya bergeser menjadi program yang permanen. Di mata masyarakat miskin, program Raskin adalah sebuah kebutuhan yang mendesak dan tidak boleh dihapuskan. Oleh karena itu, sangatlah beralasan jika kita tanyakan kepada kaum miskin tentang perlu atau tidaknya program raskin dilanjutkan, maka dijamin 100 % jawabannya akan seragam : Lanjutkan !

Pada mulanya, beras untuk masyarakat miskin dijual seharga Rp. 1000,- per kilo gram. Kala itu harga beras normal di pasaran sebesar Rp. 2000,- per kilo gram. Artinya, Pemerintah memberi subsidi sebesar 50 %. Saat ini, Pemerintah menetapkan harga beras raskin sebesar Rp. 1600,- per kilo gram, sementara harga beras di pasaran berkisar sekitar Rp. 5000,- per kilo gram. Jadi dalam hal ini Pemerintah memberi subsidi sekitar 30 %. Bagi kalangan warga miskin. Subsidi harga beras, betul-betul sangat menolong pengeluaran ekonomi warga miskin. Subsidi Pemerintah sebesar itu, tentu akan dapat dimanfaatkan untuk membeli kebutuhan hidup lainnya. Itu sebabnya, mengapa program raskin ini sangat diharapkan untuk terus berlangsung.

Dari data yang ada, sebagian besar penerima manfaat program raskin adalah para petani dan nelayan, buruh. Sekitar 70 % dari mereka ini, hidup dan bermasyarakat di pelosok-pelosok pedesaan dan pesisir-pesisir pinggiran pantai. Mereka hidup dalam keterbelakangan dan terjerat dalam lingkaran kemiskinan yang tak berujung pangkal. Dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah, kemudian derajat kesehatan yang tidak memadai dan daya beli ekonomi yang merisaukan, mereka hidup ala kadarnya. Dampaknya, menjadi wajar bila dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka ini sangat tergantung pada keberlanjutan program raskin. Bagi mereka “jatah” 15 kg beras per bulan per Rumah Tangga adalah benar-benar sebuah rahmat kehidupan yang sangat disyukuri keberadaannya, dengan catatan tidak di “bagi Rata”.

Secara hakekat, program raskin memang harus bersifat sementara. Seiring dengan perjalanan waktu, penerima manfaat program raskin harus makin berkurang jumlahnya. Sebab, kalau penerima manfaat program raskin menjadi bertambah, maka semangat Pemerintah untuk mengurangi jumlah orang miskin menjadi gagal kemudian. Dengan kata lain, dapat juga dikatakan bahwa strategi Pemerintah untuk menurunkan kemiskinan, yang selama ini dikenal dengan “pro poor” itu, rupanya masih sebatas wacana dan belum dapat diterapkan secara nyata di lapangan.

Program raskin kini telah melewati usia satu windu. Sekalipun program ini sangat dicintai oleh masyarakat miskin, namun kita harus selalu memahami bahwa kita tidak memiliki kewajiban untuk melestarikannya. Justru setapak demi setapak kita dituntut untuk mulai menguranginya, sejalan dengan semakin berkurangnya jumlah orang miskin di Indonesia. Itulah salah satu alasan, mengapa dalam jangka panjang kita perlu berjuang habis-habisan agar kemiskinan dapat dihilangkan dan bangsa kita pun pasti akan terbebaskan dari program raskin, Hemat kata “Jangan Menjadikan Program Bantuan Sebagai Candu”.

http://www.sinara.co.id/raskin-tidak-untuk-dilestarikan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar