Rabu, 07 Januari 2015

Bulog Harus Dirombak dan Keluar dari BUMN

Selasa, 06 Januari 2015

JAKARTA - Perum Bulog dipastikan sulit dalam menjalankan tugasnya sebagai stabilisator harga tujuh komoditas pangan. Hal ini apabila lembaga tersebut masih berada di struktur Kementerian BUMN dan sebatas berbentuk perusahaan umum (Perum). Pasalnya, untuk bisa menstabilisasi harga beras, kedelai, jagung, gula, bawang merah, cabai, dan daging sapi secara sekaligus, Perum Bulog harus dirombak secara besar-besaran dengan mengubahnya menjadi Badan Otoritas Pangan (BOP) seperti amanat UU Pangan.

Pengamat Pertanian yang juga menjabat Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Dwi Andreas Santosa mengungkapkan, instruksi Menteri BUMN Rini Soemarno agar Bulog menjadi stabilisator tujuh komoditas secara sekaligus adalah tidak mudah. Kendalanya, selain memikul tanggung jawab yang lebih besar, Bulog juga harus tetap meraih keuntungan yang harus di setor ke negara.

“Bulog diminta kembali memainkan perannya seperti di zaman Orde Baru yang memiliki kewenangan penuh. Tapi ini tidak akan terealisasi selama Bulog masih berada di bawah Kementerian BUMN dan berstatus perum. Yang sangat mendasar harus ada perombakan luar biasa besar. Harus kembali ke amanat UU Pangan dengan menjadikannya BOP,” kata Dwi saat dihubungi Radarpena, Senin, (5/1).

Menurut Dwi, BOP harus langsung dibentuk oleh presiden dan langsung berada di bawah kewenangannya, sehingga Bulog benar-benar memiliki kewenangan yang lebih besar. Dengan struktur Bulog seperti saat ini mustahil mewujudkan cita-cita untuk mensejahterakan petani dan rakyat.

“Dengan status perum, Bulog tidak bisa diharapkan untuk menjaga harga di level petani. Begitu harga rendah mereka akan dengan mudah memutuskan impor. Apalagi Bulog masih menerapkan prinsip perusahaan dengan mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya di akhir tahun. Namanya juga di bawah badan usaha jadi harus untung,” ungkap Dwi.

Sementara itu, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir membantah, pengalaman 30 tahun Lenny Sigihat (Direktur Utama Bulog yang baru) dalam menangani kredit rakyat bukanlah representasi kuat akan kapasitasnya untuk membawa Bulog menjadi lebih baik. Sebab, Lenny selama ini tidak pernah bersentuhan langsung dengan pangan.

“Kemampuan perbankan menangani kredit tidak bisa disamakan dengan mengelola produksi, distribusi, maupun menjaga stok pangan. Beda kemampuan yang harus dimiliki antara menghadapi angka dan produksi. Kredit hanya bagian kecil dari analisa usaha. Beda dengan menangani produksi dan distribusi pangan,” kata Winarno.

Winarno juga mengatakan, Bulog akan lebih tepat dipimpin orang yang mengerti politik dan teknis pangan. Persoalan pangan tidak dapat ditangani bila nahkodanya tak dilengkapi pengetahuan dan pengalaman yang cukup. Apalagi masalah pangan sangat berkaitan dengan kesejahteraan petani kecil.

“Harusnya dipercayakan kepada mereka yang lebih lama berkecimpung dan memahami seluk-beluk masalah pangan. Tidak bisa level direktur utama dipilih hanya karena punya pengalaman mengelola kredit pangan. Persoalan pangan itu sangat besar tidak bisa diserahkan ala kadarnya pada pemimpin yang ala kadarnya. Harusnya dipegang orang politik pertanian atau yang paham teknisnya. Lebih baik lagi yang paham konvensi internasional terkait pangan,” kata Winarno.

Winarno juga mengingatkan direktur utama Perum Bulog yang baru untuk bisa mengelola manajemen logistik dan stok. Di antaranya dengan menempatkan orang-orang terbaik di wilayah potensial yang menyuplai pangan terbesar, seperti Jawa Barat, JawaTengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. “Bagaimana dari empat wilayah produsen pangan terbesar itu bisa di distribusikan merata dan harga bisa sama di seluruh Indonesia, ini tidak mudah,” ujar Winarno.

Terkait problematika beras untuk rakyat miskin (raskin), Winarno mengharapkan Lenny Sugihat mampu mempertahankan program tersebut. Raskin harus terus dilanjutkan karena berkaitan erat dengan harga pembelian pemerintah (HPP) beras. KTNA khawatir penghapusan raskin akan direalisasikan yang bisa berdampak pada harga beras petani yang terjun bebas.

“Mengelola stok raskin harus dicermati benar agar bisa tahan dalam jangka panjang dan tidak rusak disimpan. Meski raskin hanya 5-8%, tapi punya pengaruh besar kepada harga,” kata Winarno.

Seperti diketahui, Kementerian BUMN menginstruksikan Bulog untuk menstabilkan harga tujuh komoditas pangan, yakni beras, jagung, kedelai, gula, bawang merah, cabai, dan daging sapi.Selama ini, perusahaan plat merah tersebut hanya bertugas menstabilkan harga beras. Melalui upaya tersebut, harga ketujuh komoditas pangan itu diharapkan tetap bisa menguntungkan petani, namun di sisi lain tidak membebani masyarakat.

Tugas tersebut mulai dijalankan dengan ditunjuknya direktur utama Perum Bulog yang baru. Pada Rabu (31/12), Menteri BUMN Rini Soemarno menunjuk Lenny Sugihat menjadi Direktur Utama Perum Bulog yang baru menggantikan Budi Purwanto yang menjabat sebagai Plt Direktur Utama Perum Bulog sejak 24 November 2014 lalu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar