Selasa, 23 Februari 2016
Kendali terhadap Tata Niaga Pangan Lemah
JAKARTA, KOMPAS — Ruang praktik monopoli dan kartel pangan di Indonesia sangat besar. Dua tahun terakhir ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah menangani tiga kasus dugaan kartel daging ayam, daging sapi, dan beras, dengan 44 perusahaan sebagai tersangka atau terlapor.
Kasus tersebut mencuat karena pemerintah selama ini tidak mempunyai kendali terhadap tata niaga pangan. Di samping itu, struktur industri pangan rapuh sehingga meminggirkan petani mandiri.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertema "Mengungkap Kartel Pangan" yang digelar Radio Republik Indonesia dan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), di Jakarta, Senin (22/2). Hadir sebagai pembicara Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M Syarkawi Rauf, pakar pangan Indef Bustanul Arifin, dan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman.
Syarkawi Rauf mengatakan, dalam kasus dugaan kartel daging sapi, KPPU menetapkan 32 perusahaan penggemukan sebagai tersangka. Mereka diduga mengatur realisasi kuota impor sapi dan distribusi sapi ke rumah pemotongan hewan sebagai respons kebijakan pemerintah tentang pembatasan kuota sapi.
Pada tahun ini, KPPU menetapkan 12 perusahaan sebagai tersangka. Dugaan kartelnya pada pengaturan apkir dini bibit ayam (PS) dan pasokan anak ayam usia sehari (DOC).
"Itu menyebabkan harga ayam jatuh. Di Jawa Tengah dan Jawa Barat, harga ayam di tingkat petani mandiri Rp 8.500-Rp 9.500 per kilogram. Padahal, biaya produksi pokok para peternak Rp 18.000 per kilogram," katanya.
Menurut Syarkawi, bisnis unggas di Indonesia ini nilainya sekitar Rp 450 triliun. Dahulu, sebanyak 80 persen didominasi petani mandiri. Pada empat tahun terakhir ini, bisnis unggas telah dikuasai perusahaan besar dan peternak mitra mereka.
Di samping itu, lanjut Syarkawi, KPPU juga sedang mengawasi dan menyelidiki dugaan penimbunan beras di tingkat pedagang besar. KPPU menemukan sejumlah indikasi, salah satunya peningkatan pasokan beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, hingga 120 persen pada Februari 2016 daripada pada Februari 2015.
"Jika dugaan kartel dan penimbunan terbukti, KPPU akan merekomendasikan kepada kementerian terkait agar mencabut izin usaha pelaku," ujarnya.
Sementara dalam kesempatan tersebut, Bustanul lebih banyak menyoroti industri perunggasan nasional. Bustanul menilai industri perunggasan di Indonesia itu aneh.
"Baru dua minggu lalu harga ayam tinggi, sekarang harganya turun. Biaya pokok penjualan ayam dua minggu lalu Rp 18.500 per kg, sekarang ini Rp 8.500 per kg-Rp 9.500 per kg," ujarnya.
Bustanul mencontohkan, pada Sabtu pekan lalu, harga ayam hidup di petani mandiri di Sumatera Rp 11.500-Rp 18.000 per kg, di Jawa Rp 8.500-Rp 11.500 per kg, dan di Kalimantan Rp 14.000-Rp 22.000 per kg.
Sementara itu, harga daging ayam yang dirilis Kementerian Perdagangan pada Jumat pekan lalu Rp 31.750 per kg dan harga telur Rp 24.300 per kg. "Pertanyaannya adalah siapa yang menentukan harga tersebut? Ada disparitas harga yang cukup tinggi yang merugikan petani dan konsumen," katanya.
Menurut Bustanul, peternak mandiri akan merugi jika harga terus bergejolak. Adapun peternak mitra tidak akan mengalami masalah karena mendapatkan jaminan dari perusahaan besar.
"Saya berharap KPPU mampu mengurai persoalan tersebut. Kalau memang praktik monopoli, selesaikan secara hukum. Namun jika karena faktor lain, saya berharap ada solusi ekonomi dan kebijakan," tuturnya.
Kendali lemah
Adhi S Lukman meminta agar pemerintah kembali memegang kendali atas tata niaga pangan pokok. Selama ini yang dirugikan bukan hanya petani, peternak, ataupun konsumen, melainkan juga pelaku industri makanan olahan.
Sejak harga daging ayam dan sapi bergejolak, industri makanan olahan berbahan baku komoditas pangan tersebut turut bergejolak. "Mereka kekurangan pasokan bahan baku sehingga terpaksa menghentikan atau mengurangi produksi," ujarnya.
Syarkawi menegaskan, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian harus segera merampungkan persoalan ini. Gunakan wewenang mengendalikan tata niaga yang selama ini membuka peluang besar bagi praktik monopoli dan kartel.
Dasar hukumnya ada, yaitu Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Lewat regulasi itu, Kementerian Perdagangan bisa menetapkan harga eceran tetap untuk pangan pokok.
"Pemerintah seharusnya punya ketegasan untuk melindungi petani, peternak, dan konsumen. Pemerintah juga harus punya wibawa agar kebijakan yang dibuatnya dilaksanakan pelaku usaha terkait," tuturnya. (HEN)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160223kompas/#/18/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar