Sabtu, 13 Februari 2016

Rizal Ramli Ingatkan Kesalahan Intervensi Bulog soal Mahalnya Harga Beras. Ini Pelajaran Berharga

Kamis, 11 Februari 2016

KONFRONTASI- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli menyoroti permainan kotor para pedagang beras besar dalam menentukan harga beras di pasar. Hal itu tidak terlepas dari kesalahan intervensi Perum Bulog ketika menggelar Operasi Pasar (OP).

"Margin (keuntungan) di pedagang lebih tinggi dibanding petani. Ini ada yang tidak beres, karena harusnya margin petani lebih tinggi supaya ada insentif buat petani berproduksi. Ini menunjukkan sistem beras tidak kompetitif, setengah oligopolistik," tegas Rizal di Jakarta, Kamis (21/1/2016).

Permainan harga ini, diakui Rizal, karena kegiatan operasi pasar beras oleh Bulog justru disalurkan lewat pemain besar di perberasan. Pemain tersebut merupakan produsen atau pedagang beras besar yang sudah punya kekuatan pasar.

"Sudah punya kekuatan pasar, ditambah lagi intervensi beras dari Bulog lewat pemain besar, jadi makin seenaknya mereka menentukan harga," paparnya.

Ia menjelaskan, di tahun-tahun sebelumnya, operasi pasar Bulog selalu menyasar pedagang menengah sehingga harga beras di tingkat konsumen lebih kompetitif atau bersaing.

"Jadi jangan ke pedagang Cipinang yang besar, nanti pada cincai harga sendiri. Karena Kementerian Pertanian bilang produksi surplus tapi harga kok naik. Ini kan tata niaganya yang tidak beres karena operasi pasar Bulog lewat pedagang besar," kata Rizal.

Dengan begitu, Rizal mengaku bakal meminta Kementerian Perdagangan untuk menetapkan Harga Pokok Penjualan (HPP) beras supaya harga beras terkendali dan menjangkau seluruh masyarakat.

Sebelumnya, Kepala Kajian Kemiskinan dan Perlindungan Sosial LPEM FEUI, Teguh Dartanto mengungkapkan, harga beras di Indonesia 30 hingga 50 persen lebih mahal dibanding beras Thailand dan Vietnam. Tingginya harga beras hanya menguntungkan segelintir pihak dan mengorbankan masyarakat yang menjadi konsumen.

"Kalau harganya beda 20 persen sih masih tidak apa. Tapi kalau mahalnya harga beras sampai 50 persen dari Thailand dan Vietnam, itu kan bermasalah. Yang untung pedagang sama petani, tapi korbannya konsumen," tegas Teguh dilansir Liputan6.com.

Penyebabnya, kata Teguh, karena pemerintah tidak punya data valid stok beras. Perum Bulog pun yang selama ini bertugas menyimpan cadangan beras dianggap kurang mengetahui persis stok beras di gudangnya di daerah.

"Stoknya berapa dan seperti apa, pemerintah maupun Bulog tidak tahu, datanya tidak valid. Karena itu, jika terjadi kemarau pangan, intervensi telat, harganya sudah naik tajam. Sedangkan pemerintah seolah-olah alergi impor karena ini menyangkut persoalan politik," jelasnya.

Untuk itu, ia menambahkan, pemerintah perlu melakukan kalibrasi data supaya ada data valid soal stok beras. Dengan begitu, pemerintah dapat menghitung kebutuhan beras setiap tahun, pendistribusiannya dan pada akhirnya dapat menjaga kestabilan harga pangan yang merupakan kunci utama menjaga daya beli masyarakat. (Fik/Gdn)

BULOG

Menurut Khudori, pengamat pertanian dan ekonomi kerakyatan, memasuki 2016, segenap awak Perum Bulog dihinggapi perasaan waswas. Sebagai operator dalam pengelolaan cadangan beras pemerintah, penjaga iron stock, penyalur Raskin, dan pembeli gabah/beras dalam negeri sebagai jaminan harga dan pasar produksi petani nasional Bulog belum punya pegangan pasti dalam bekerja.

Mengacu tahuntahun sebelumnya, pergantian tahun biasanya diikuti penyesuaian harga pembelian pemerintah (HPP), baik untuk gabah maupun beras. Perubahan itu dituangkan dalam instruksi presiden yang disebut Inpres Perberasan. Apakah tahun ini ada inpres baru? Pertanyaan ini penting diajukan karena dua hal, kata Khudori

Pertama, Inpres Perberasan yang terakhir No 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah terbukti mandul. Inpres mengatur harga pembelian, menunjuk pelaksana, mengatur hasil pembelian untuk keperluan apa, serta menunjuk siapayangmelakukankoordinasi dan evaluasi.

Yang tak diatur pola pembiayaan dan siapa yang bertanggung jawab bila terjadi kerugian. Harga gabah kering panen di petani Rp3.700/kg (sebelumnya Rp3.300/kg), gabah kering giling di gudang Bulog Rp4.650/kg (semula Rp4.200/kg), dan beras di gudang Bulog Rp7.300kg (semula Rp6.600/kg). Rata-rata naik 11%-12%. Sampai tutup 2015, pengadaan Bulog jauh dari harapan.

Meskipun direksi baru yang mulai menjabat Juni 2015 mengerahkan segala jurus, total pembelian satu tahun untuk melayani kebutuhan Raskin hanya meraih 1,98 juta ton (beras medium) dan pembelian komersial 0,7 juta ton. Pengadaan (beras medium) ini jauh dari target internal (2,7 juta ton) dan target pemerintah (4 juta ton).

Menurutnya, Bulog kalah gesit dan tidak berdaya melawan pedagang/ penggilingan padi besar yang bergerak door to door menggunakan kaki dan tangan hingga di level petani. Apalagi, harga gabah/beras selalu di atas HPP. Kalau HPP dinaikkan lewat inpres baru, mendekati harga pasar misalnya, ada peluang pengadaan gabah/beras Bulog membaik.

http://www.konfrontasi.com/content/tokoh/rizal-ramli-ingatkan-kesalahan-intervensi-bulog-soal-mahalnya-harga-beras-ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar