Jumat, 19 Februari 2016
Mekanisme Penentuan HPP Diharapkan Dapat Dievaluasi
DEMAK, KOMPAS — Pasca penetapan harga pembelian pemerintah, Perum Bulog segera fokus membeli gabah kering panen di tingkat petani. Untuk merealisasikan penyerapan gabah, Bulog akan menggandeng petani serta melakukan penguasaan alat pengering dan penggiling milik swasta.
Direktur Pengadaan Perum Bulog Wahyu saat dihubungi Kompas dari Demak, Jawa Tengah, Kamis (18/2), mengatakan, Bulog telah bekerja sama dengan Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) untuk membantu merealisasikan serapan beras. Sepanjang tahun ini, penyerapan Bulog ditargetkan mencapai 3,9 juta ton beras. Bulog memperbanyak serapan gabah kering panen (GKP) karena harganya lebih terjangkau ketimbang harga beras.
Dalam upaya meningkatkan serapan itu, Bulog melakukan penguasaan alat pengering dan penggiling gabah milik sejumlah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan swasta. Perusahaan-perusahaan itu berada di lumbung-lumbung pangan, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.
"Sebagai langkah awal, kami menyewa dulu alat pengering dan penggiling dari perusahaan selama enam bulan. Selain itu, kami juga akan membeli mesin pemanen," ujar Wahyu.
Bulog bersama KTNA juga terus memonitor pergerakan harga gabah dan beras. Hal itu dilakukan karena panen di daerah-daerah penghasil bersifat sporadis dan tidak serentak. "Ini menyebabkan harga gabah dan beras yang sesuai HPP (harga pembelian pemerintah) hanya bertahan 1,5 bulan. Padahal, dulu harga sesuai HPP bisa bertahan sekitar 3 bulan," ujarnya.
Di Demak, harga GKP hasil panen musim tanam pertama rata-rata Rp 4.000 per kg. Harga tersebut masih di atas HPP GKP, yaitu Rp 3.750 per kg. Sementara harga beras di tingkat penggilingan kecil di desa Rp 7.100 per kg. Harga ini di bawah HPP beras, yaitu Rp 7.300 per kg.
HPP gabah dan beras tahun ini yang ditetapkan sama dengan tahun lalu menuai protes dari himpunan, kelompok, dan asosiasi petani. Para petani ini berharap pemerintah meninjau ulang serta mengevaluasi harga pembelian pemerintah gabah dan beras.
Evaluasi HPP
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kabupaten Demak Hery Sugiartono mengatakan, pemerintah perlu mengevaluasi HPP yang ditetapkan tahun ini. HPP itu dinilai merugikan petani karena tidak dapat mendongkrak pendapatan petani.
Padahal, pengeluaran petani, mulai dari biaya produksi, sewa lahan, hingga biaya hidup, makin tinggi. Apabila pendapatan petani tetap atau tidak terdongkrak, petani akan semakin sulit memenuhi segala pengeluaran itu.
"Upah buruh saja selalu dievaluasi setiap tahun dan mempertimbangkan inflasi tahunan. Kenapa petani yang menghasilkan pangan bagi masyarakat banyak tidak diperhatikan atau diperlakukan serupa?" ujarnya.
Di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, petani yang tergabung dalam Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia juga berharap pemerintah meninjau ulang HPP 2016. Koordinator AB2TI Kabupaten Indramayu, Masroni, meminta agar HPP gabah kering panen (GKP) ditetapkan Rp 4.130 per kg.
Sementara Ketua Aliansi Petani Indonesia (API) Loji Nurhadi berharap pemerintah mengubah mekanisme penentuan HPP. Selain mempertimbangkan inflasi, pemerintah juga dipandang perlu menentukan HPP gabah dan beras per musim.
"Karena, harga gabah dan beras setiap musim tanam berbeda, tergantung cuaca dan tingkat serangan hama," ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menetapkan HPP gabah dan beras tahun ini sama dengan HPP tahun lalu. HPP GKP Rp 3.750 per kg, gabah kering giling (GKG) Rp 4.600 per kg, dan beras Rp 7.300 per kg.
Berkait penetapan HPP, pemerintah mempertimbangkan upaya menjaga pasokan dan stabilitas harga beras, melindungi tingkat pendapatan petani, mengamankan cadangan beras pemerintah, dan menyalurkan beras untuk keperluan masyarakat.
(HEN)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160219kompas/#/18/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar