Rabu, 13 Januari 2016

Reformasi Bulog Menuju Ketahanan Pangan

Selasa, 12 January 2016
 
Oleh: Dr. Erdi, M.Si   SEMULA, artikel ini diberi judul Kisah Negara Agraris Yang Kekurangan Beras yang diilhami dari buku “Indonesia Betrayed: How Development Fails” yang ditulis oleh Elizabeth Fuller Collins (2007).

Saya sempat marah (dalam hati) karena penulis menyatakan Indonesia mengingkari jati dirinya sebagai negara agraris. Memang buku tersebut hanya bicara tentang demokrasi, reformasi dan agrarisme di Pulau Sumatera, tetapi secara umum juga membicarakan Indonesia dalam perspektif global. Setelah membaca dengan seksama, ternyata ulasan Collins tersebut benar adanya. Artikel ini membahas salah satu dari tujuh isu pokok yang membawa Indonesia pada kegagalan pembangunan dan penghianatan jati diri sebagai bangsa agraris. Salah satu isu itu adalah negara agraris yang kekurangan beras.

Jauh sebelum terbitnya buku tersebut, Group Penyanyi Lawas Koes Ploes dalam syair lagu“Kolam Susu”menyatakan Indonesia sebagai negeri indah yang hijau dengan lirik “Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai, tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu … Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Namun, ternyata negeri ini telah memasukkan beras dari 10 negara dari sejak lama. Statistik tahun 2010 sd 2014 mencatat inport beras kita telah mencapai 18.080.270,80 ton dengan nilai devisa sebesar US$ 6.294,293.000 (BPS, 2016). Import beras dimaksud merupakan kelanjutan dari kegagalan pembangunan pertanian dari rezim-rezim sebelumnya. Beras-beras tersebut didatangkan dari Vietnam, Thailand, Tiongkok (RRC), India, Pakistan, Amerika Serikat, Taiwan, Singapura, Myanmar dan lain-lain.

Jika harus dikonversi ke dalam rupiah saat ini dengan nilai tukar Rp 13.500,00 per 1,00US$, maka diperoleh angka sebesar Rp 84.9 Triliun atau setara dengan 21% dari nilai APBN Indonesia tahun 2015 (Rp 1.793,6 Triliun) atau cukup untuk membiayai pembangunan di Kalbar selama 19 tahun dengan rerata besaran APBD Rp 4.5 Triliun per tahun. Sungguh angka yang luar biasa besar dan spektakuler!

Kebiasaan impor tersebut dikatakan lebih menguntungkan negara karena beras import dibeli dengan harga “murah” dan dapat dijual dengan harga “tinggi” di dalam negeri (semacam politik dumping ala Jepang). Sebenarnya, pihak yang netral mengatakan peran Badan Urusan Logistik (Bulog) yang tidak optimal dan bahkan tidak becus dalam mengurus urusan pangan rakyat.Secara kelembagaan, Bulog memang kuat karena dibentuk berdasarkan PP No. 7 tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum (Perum) Bulog. Sebelumnya, Perum Bulog juga ditegaskan dalam Pasal 40 sd 42 Kepres No. 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Secara kelembagaan, Bulog adalah lembaga negara non departemen yang kuat (Abubakar, 2008); tetapidalam hal peran, lembaga ini masih sangat lemah (Ika, 2014). Salah satu sebab mandulnya peran Bulog adalah terinduksinya Bulog ke dalam kekuasaan mafia beras (Tjakrawerdaya, 2015).Dengan begitu, ia bagaikan sapu kotor yang tak mampu membersihkan lantai yang kotor sehingga perlu direformasi secara berkelanjutan.

Dulu, cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Beras, kedelai, gula, dan sejenisnya adalah komoditi yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dikuasasi negara melalui Bulog. Dengan system ini, rakyat dapat menikmati komoditas itu dengan harga terjangkau. Dulu, di zaman orde baru, pengrajin mendapatkan kedelai dengan mudah dan murah karena Bulog berperan mengatur dan mengendalikan harga. Kini, justru pemerintah yang ikut kata pengusaha dalam penentuan harga komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak. Itu sebagai salah satu pertanda bahwa pemerintahan negeri ini masih belum kuat dan bahkan ikut berselingkuh dengan penguasha sehingga kebijakannya tidak berpihak kepada rakyat kecil.

Saat ini, distribusi produksi beras dalam negeri ke Bulog sekitar 13,3 juta ton, dilakukan melalui koperasi atau kumpulan petani hanya sebesar 12% (1,6 juta ton) dan sisanya 88% (11,7 juta ton) dilakukan melalui pedagang atau tengkulak (Mardiono dkk, 2005). Hal ini dikarenakan rantai distribusi dari petani terputus hanya pada gabah kering giling (GKG) dan pemerintah melalui Perum Bolog hanya menjaga HPP, mengelola CBP dan menyalurkan beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan rawan pangan serta penyaluran beras untuk menanggulangi keadaan darurat dan bencana. Tidak ada peran Bulog dalam mengusahakan peningkatan produksi padi. Katanya, peran meningkatkan produksi padi sudah masuk dalam tupoksi Kementerian Pertanian.Semestinya, kolaborasi aktor terjadi di sini sehingga peran Bulog harus ditambahkan secara ekplisit ikut meningkatkan produksi pangan rakyat.

Lalu bagaimana cara memberdayakan petani padi agar mereka tidak terkucil dan negara tidak perlu lagi impor beras dari 10 negara importir beras? Tidak ada jalan lain kecuali dengan kebijakan pemerintah yang pro petani dan memprioritaskan usaha pemenuhan kebutuhan dari usaha sendiri (bukan impor). Diantara kebijakan itu adalah penyediaan dana dari Bank Indonesia (BI) melalui Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) kepada Bulog dan Kementan untuk: (1) penyaluran bibit padi gratis kepada petani, (2) pembangunan irigasi teknis dan setengah teknis di seluruh negeri potensi padi, (3) melanjutkan intensifikasi lahan; (4)pemberian subsidi dan bantuan saprotan, (5) jaminan pembelian gabah kering giling (GKG)dengan harga pembelian pemerintah (PHH); dan (6) penghargaan kepada petani yang telah berhasil dalam produksi padi; misalnya pemberian beasiswa kepada anak petani hebat hingga ke perguruan tinggi dan lain sebagainya.

Collins (2007) menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia masih belum berpihak kepada petani (padi). Dari data statstik, petani adalah kelompok terbesar penduduk negeri ini.Pemerintah yang legitimate karena mendapat dukungan terbesar dari rakyat dan pasti dukungan itu berasal dari kaum petani. Jadi, dukungan dari petanisangatlah besardalam mengantarkan seseorang menjadi pemimpin. Semestinya, pemimpin yang lahir dari dukungan petani, wajib berpihak kepada petani. Demikian ungkap Collins.

Untuk menterjemahkan uraian Collins di atas, kita konversikan dengan jumlah petani tanaman pangan dan hortikultura di Indonesia tahun 2013 adalah 18.708.052 KK (BPS, 2014) dengan rata-rata anggota keluarga sebanyak 6 orang (keluarga batih, kakek-nenek dan anggota keluarga lain).Dengan demikian, keluarga petani berjumlah sebanyak 112,3 juta orang. Kalau saja 40% dari mereka adalah pemilih (voter) yang hanya memilih satu pemimpin berkarakter dan berpihak kepada petani, maka akan terkumpul sebanyak 45 juta suara untuk mendukung calon Presiden bagi petani. Namun, sayang belum tampak kebijakan negara kepada kelompok petani. Mudahan ke depan tidak lagi “masih seperti itu”.

Dengan penduduk Indonesia saat inisebanyak 254,9 juta jiwa (BPS, 2013) dan jika setiap penduduk membutuhkan beras sebanyak 0,6 kg per hari, maka total kebutuhan beras Indonesia per tahun adalah 55,8 juta ton, sementara kapasitas produksi hanya 13,3 ton, sehingga kekurangannya mencapai 42,50 juta ton. Apapun caranya, harus dipenuhi dan lebih diprioritaskan memenuhinya dengan kemampuan dalam negeri. Haram import beras bagi negara argaris seperti Indonesia yang seluruh tumpah darahnya adalah surga bagi tanaman padi (pangan). Indonesia harus malu dengan Singapura yang ternyata menjadi salah satu importir beras bagi Indonesia!

 *)Ketua Prodi IAN Fisip Untan
http://www.pontianakpost.com/reformasi-bulog-menuju-ketahanan-pangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar