Rabu, 06 Januari 2016

Ketidakpastian Tata Niaga Picu Spekulasi

Rabu, 6 Januari 2016

JAKARTA, KOMPAS — Ketidakpastian kebijakan tata niaga komoditas pangan memicu spekulasi yang berujung pada kenaikan harga. Sayangnya, hanya sebagian kecil petani yang menikmati kenaikan harga. Mayoritas petani sedang tidak panen. Di sisi lain, naiknya harga komoditas semakin menggerus daya beli masyarakat.

Menurut Koordinator Forum Peternak Layer/Ayam Petelur Nasional Musbar, Selasa (5/1), di Jakarta, karena kebijakan tata niaga yang tidak pasti harga jagung sebagai bahan baku pakan ternak naik tinggi.

Pada 17 Desember 2015, harga jagung Rp 4.500 per kilogram (kg) pipilan kering. Lalu Kementerian Pertanian menunda realisasi pemasukan jagung impor dari yang Desember 2015 menjadi Januari 2016. Yang terjadi, harga jagung dalam sepekan naik menjadi Rp 5.500 per kg.

"Padahal, sekarang petani jagung tidak sedang panen. Lalu harga jagung yang tinggi itu dinikmati siapa kalau bukan oleh para spekulan? Sekarang banyak pemain baru yang masuk dalam bisnis komoditas," ujarnya.

Musbar mengatakan, meski harga jagung tinggi sekarang peternak ayam petelur tidak berteriak karena harga telur tinggi. Dengan harga jagung Rp 5.500 per kg, biaya pokok produksi telur Rp 18.500 per kg. Peternak bisa menjual telur dengan harga Rp 21.000 per kg di kandang.

Konsekuensi dari harga jagung yang tinggi adalah harga telur juga tinggi di tingkat konsumen. "Sekarang masih tertolong dampak apkir dini induk ayam pedaging (broiler). Selanjutnya belum tahu, apalagi kalau telur dari perusahaan unggas integrator juga banjir ke pasar," ujarnya.

Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan, kebijakan tata niaga beras harus dipersiapkan jauh-jauh hari dengan baik agar tidak memicu spekulasi.

Kebijakan tata niaga beras seperti kebijakan impor hendaknya tidak terkontaminasi oleh persoalan politik. Hal itu harus berdasarkan kondisi riil di lapangan.

Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir mengatakan petani jagung saat ini baru mulai tanam, belum panen. Karena umumnya tanaman jagung pada musim hujan ini ditanam di lahan kering jadi harus menunggu hujan.

Untuk petani padi juga belum sepenuhnya tanam. Di lahan-lahan tegalan atau lahan sawah beririgasi semiteknis, masih banyak yang mulai pertanaman.

Pemerintah sudah memberi insentif dalam bentuk asuransi pertanian. Namun, serapan juga masih rendah, berkisar 324.000 hektar dari target 1 juta hektar.

Rendahnya serapan salah satunya karena kurangnya sosialisasi. Belum lagi persoalan teknis seperti perlunya surat keterangan desa sebagai syarat mendapat dana asuransi. Padahal, dengan asuransi petani akan mendapat ganti rugi sekitar Rp 6 juta per hektar jika terjadi gagal panen.

(MAS)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160106kompas/#/18/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar