Kamis, 28 Januari 2016

Presiden Minta Stabilisasi Harga

Kamis, 28 Januari 2016

JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo meminta para menteri membuat kebijakan stabilisasi harga pangan yang berimbang demi menyejahterakan petani, pedagang, dan konsumen. Kenaikan harga pangan nasional yang melampaui negara-negara tetangga menuntut pemerintah segera merumuskan kebijakan secara komprehensif.

Presiden menyampaikan hal itu saat membuka rapat terbatas masalah kebijakan pangan di Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta, Rabu (27/1). Rapat antara lain dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong.

Menurut Presiden, tingkat kenaikan harga pangan sejak 2011 sampai 2015 sudah mencapai 70 persen. Hal tersebut harus dicermati betul dan dicari solusinya agar jangan menyulitkan rakyat. "Intinya, kita harus membuat kebijakan yang berimbang, bagi produsen, pedagang, dan konsumen. Ada 81 persen penduduk kita merupakan konsumen (pangan). Ini harus berhati-hati karena kenaikan harga pangan memukul 81 persen masyarakat kita," tuturnya.

Dalam rapat itu, Presiden memerintahkan Mentan dan Mendag di bawah koordinasi Menko Perekonomian memangkas rantai pasok produk pertanian yang selama ini menikmati keuntungan terlalu besar sehingga merugikan petani atau peternak dan konsumen.

Amran mengatakan, Perum Bulog akan lebih aktif menyerap beras langsung dari petani dan menyalurkan ke pasar. Langkah itu akan memangkas rantai pasok dari delapan tahap menjadi empat tahap saja.

Bisnis "agregator"

Dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan (Kemendag), Rabu, terungkap Kemendag perlu mengembangkan bisnis agregator untuk memotong rantai pasokan dan mengefisienkan logistik pangan. Melalui bisnis berbasis perdagangan secara elektronik yang menghubungkan langsung pembeli dan penjual itu, informasi harga pangan bisa menjadi lebih transparan. Dalam Raker tersebut, hadir menjadi pembicara kunci Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution.

Menurut Darmin, pada era teknologi informasi, bisnis agregator bisa menjadi salah satu solusi permasalahan rantai pasokan dan logistik pangan Indonesia. "Salah satu cara memutus adalah dengan teknologi. Sudah saatnya Indonesia membangun bisnis agregator pangan pokok yang berfungsi pula memberikan informasi harga pangan dan komoditas, baik dalam negeri maupun luar negeri, kepada petani," kata Darmin.

Pengembangan bisnis tersebut, lanjut Darmin, merupakan wewenang Kemendag. Kemendag bisa melibatkan pelaku-pelaku ekonomi kreatif yang bergerak di sektor teknologi informasi dan aplikasi.

Menanggapi hal itu, Thomas Lembong mengatakan, bisnis agregator merupakan bagian dari e-dagang. Salah satu bentuk dari bisnis agregator adalah penyediaan aplikasi atau laman pemasaran yang menghubungkan antara produsen, pedagang, dan konsumen, tanpa perantara.

"Dengan terkumpulnya pemasok dengan pengguna atau konsumen dalam laman itu, perantara secara otomatis bisa terpotong. Rantai pasokan bisa lebih pendek," kata Lembong. Selain itu, harga bahan pangan bisa lebih transparan.

Secara terpisah, Ketua Harian Dewan Hortikultura Nasional Benny A Kusbini menyatakan, idealnya pemerintah berinisiatif dan terdepan dalam pengembangan kawasan-kawasan kebun buah skala luas secara nasional. Hal itu memungkinkan Indonesia membendung buah impor. Namun, yang terjadi, pemerintah justru memelihara impor buah.

Pengusaha buah naga dan jeruk Wayan Supadno mengatakan, yang perlu dilakukan pemerintah adalah mencontoh dan mereplikasi tempat lain. Ia saat ini mengembangkan kebun buah naga seluas 40 hektar (ha) dan kebun jeruk 45 ha. Pada tahun ini, ia merencanakan mengembangkan kebun durian 50 ha, kelengkeng 50 ha, dan anggur 50 ha. (SON/HAR/HAM/HEN/MAS)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160128kompas/#/20/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar