Minggu, 4 Mei 2014
Sepuluh tahun pemerintah reformasi memberikan pelajaran berharga bagi calon pemimpin negeri ini, bahwa data makroekonomi bukanlah acuan akurat untuk menentukan keberhasilan pembangunan.
Contoh nyata adalah kecenderungan pemerintah untuk hanya mengejar angka pertumbuhan ekonomi, namun mengabaikan kualitas pertumbuhan itu sendiri. Memang, dalam lima tahun terakhir (2008–2012), Indonesia mampu membukukan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6 persen per tahun. Dari sisi angka, pencapaian itu terbilang bagus, mengingat kinerja ekonomi global yang saat itu tengah tertekan. Namun, apabila ditelaah lebih dalam, kualitas pertumbuhan yang ditorehkan rupanya banyak mengundang pertanyaan.
Pasalnya, selama itu pula, pertumbuhan hanya mengandalkan konsumsi rumah tangga atau konsumsi domestik. Kontribusi konsumsi domestik mencapai lebih dari 50 persen. Melalui strategi untuk terus memperkuat belanja atau keep buying strategy, guna mengejar angka pertumbuhan, pemerintah mengabaikan produktivitas nasional. Konsumsi terus digenjot, seiring dengan pertumbuhan kelas menengah yang pesat, meskipun mayoritas berasal dari impor. Alhasil, kini dampak negatif keep buying strategy yang mengabaikan sisi suplai mulai terasa.
Impor pangan pun melambung hingga 12 miliar dollar AS setahun atau sekitar 60 persen dari kebutuhan pangan nasional. Atas nama liberalisasi perdagangan, pemerintah membuka keran impor sebesar-besarnya, termasuk impor pangan, hingga menggusur sektor pertanian lokal yang dibiarkan limbung tanpa proteksi dan persiapan yang memadai.
Kedaulatan pangan nasional pun kini terancam karena rakyat kita mesti bergantung pada negara lain untuk urusan perut. Petani sebagai ujung tombak pasokan pangan nasional secara perlahan angkat tangan. Dalam lima tahun, Indonesia kehilangan sekitar 5 juta petani karena beralih profesi, setelah bercocok tanam dinilai tidak lagi bisa dijadikan sandaran hidup. Yang lebih memprihatinkan, saat ini mayoritas petani di Tanah Air terdiri atas masyarakat yang berusia tidak produktif lagi, yakni di atas 45 tahun.
Tidak ada insentif bagi generasi muda tani untuk meneruskan bercocok tanam. Sektor pertanian, baru satu contoh sektor yang terhempas, dan menjadi ongkos mengejar angka pertumbuhan yang ambisius. Sektor industri nasional juga tidak bernasib lebih baik. Impor aneka komoditas yang berharga lebih murah, telah memukul industri dalam negeri. Pemerintah yang terlena dengan pendekatan data makro pertumbuhan, mengabaikan penguatan struktur industri nasional.
Secara berangsur, kontribusi sektor industri atau manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) menyusut. Impor barang modal dan barang setengah jadi marak, akibat kealpaan memperkuat industri dasar guna menyokong pembangunan industri hilirnya. Tahun 2013 menjadi tahun pembuktian betapa lemahnya kebijakan keep buying strategy yang diperagakan pemerintah. Pertumbuhan hanya memperkuat kebergantungan pada barang impor dan kian jauh dari upaya kemandirian.
Padahal, kita pun mengetahui bahwa tidak ada negara yang bisa kuat dan maju ekonominya tanpa membangun kemandirian. Kebergantungan lain yang dihasilkan oleh pendekatan data adalah utang. Konsep rasio utang terhadap PDB yang dianut pemerintah akhirnya mendorong Indonesia dalam jebakan utang (debt trap).
Saat ini, untuk membayar bunga utang saja, kita mesti menarik utang baru. Gali lobang, tutup lobang telah terjadi. Dalam sepuluh tahun, pemerintah telah menambah stok utang sekitar 1.000 triliun rupiah menjadi 2.465 triliun rupiah. Pendekatan rasio utang tanpa memperhatikan kemampuan bayar itu, tidak hanya merenggut hak rakyat saat ini untuk memperoleh kesejahteraan dari negara.
Generasi mendatang pun sudah terbebani dengan tumpukan kewajiban utang yang seakan tak bakal terbayar. Gambaran suram prospek ekonomi ke depan di atas baru terlihat dari dua data makro yang dibanggakan pemerintah reformasi. Belum lagi data inflasi yang cenderung dibuat rendah untuk menjaga bunga tetap rendah sehingga lebih banyak menguntungkan spekulan properti. Data inflasi yang tidak riil antara lain tecermin dari data 2013 sebesar 8,4 persen.
Padahal, dengan depresiasi rupiah sebesar 26 persen tahun lalu, harga barang-barang di lapangan (yang mayoritas dari impor) tentunya sudah terkerek naik proporsional dengan depresiasi mata uang kita. Pemimpin baru negeri ini semestinya bisa belajar dari Pemerintah Tiongkok dalam menyikapi publikasi data ekonomi. Tiongkok menolak dinobatkan sebagai raksasa ekonomi terbesar dunia menggeser posisi AS. Meskipun, data indikator ekonomi Tiongkok yang dilansir Bank Dunia mengonfirmasikan dominasi Negera Tirai Bambu itu.
Rupanya, Pemerintah Tiongkok menyadari dengan menyandang predikat sebagai terbesar, melekat pula tanggung jawab global yang lebih besar pula. Ini termasuk tanggung jawab untuk lebih membebaskan nilai mata uangnya di pasar. Alasannya, pengambil kebijakan di Tiongkok mencermati bahwa meski dalam ukuran PDB melebihi AS, namun kondisi riil di negara itu belum sepadan dengan predikat terbesar.
Misalnya, dengan penduduk 1,3 miliar jiwa maka GNP per kapita yang masih relatif rendah. Meski setiap tahun Tiongkok membukukan surplus transaksi berjalan dan AS defisit, namun secara per kapita, penduduk AS masih lebih kaya. Sikap pemerintah semestinya seperti itu, tidak silau dengan angka-angka yang menghibur dan membiuskan, namun lebih suka melihat kondisi riil rakyat di lapangan.
http://koran-jakarta.com/?11283-terlena%20data
Tidak ada komentar:
Posting Komentar