Selasa, 6 Mei 2014
Antisipasi Krisis |Defisit Pangan Menguras Devisa dan Melemahkan Rupiah
JAKARTA – Strategi pemerintah yang mengedepankan pendekatan data indikator ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, utang negara, tingkat inflasi, dan pengangguran, ternyata mengabaikan pembangunan sektor pertanian. Padahal, sektor itu terbukti menjadi basis perekonomian rakyat yang mampu menyerap tenaga kerja serta menanggulangi kemiskinan.
Kelalaian pemerintah mengembangkan sektor pertanian, khususnya pangan, juga menyebabkan bangsa Indonesia gagal mewujudkan kemandirian pangan sehingga harus bergantung pada negara lain untuk urusan perut rakyat. Padahal, tanpa kemandirian, Indonesia tidak akan menjadi bangsa maju.
Ekonom Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Ahmad Maruf, mengemukakan hal itu saat dihubungi, Senin (5/5). Ia menegaskan tantangan bangsa Indonesia ke depan bukan hanya pertumbuhan ekonomi dari pergerakan barangmaupun jasa, namun juga dari kemampuan produksi pangan.
“Artinya, selama kita tidak mampu membangun kemandirian pangan, maka selama itu pula kita bakal bergantung pada impor pangan. Kondisi ini juga menandakan kita gagal membangun negara yang berdaulat,” jelas Maruf.
Pertumbuhan impor pangan selama hampir 10 tahun terakhir ini sekaligus menyiratkan kinerja sektor pertanian yang buruk. Akibatnya, berdasarkan data Global Food Security Index, indeks ketahanan pangan Indonesia jauh di bawah negara-negara tetangga.
Di antara 105 negara yang dinilai, indeks ketahanan pangan Indonesia berada di urutan ke-64 dengan skor 46,8, jauh di bawah Malaysia yang berada di peringkat ke-33 (dengan skor 63,9), China peringkat ke-38 (62,5), Thailand peringkat ke-45 (57,9), Vietnam peringkat ke-55 (50,4), dan Filipina yang berada di urutan ke-63 (47,1).
Pada tiga tahun terakhir, setiap tahun, rata-rata Indonesia mengimpor 1,5 juta ton garam (50 persen kebutuhan garam nasional), 70 persen kebutuhan kedelai nasional, 12 persen kebutuhan jagung, 15 persen kebutuhan kacang tanah, 90 persen kebutuhan bawang putih, 30 persen konsumsi daging sapi nasional, dan 70 persen kebutuhan susu, sementara impor buah (jeruk mandarin, apel, anggur, pir) dan sayuran juga terus meningkat.
Jika tidak mampu meningkatkan produksi pangannya, Indonesia akan terus mengalami defisit neraca perdagangan pangan yang telah menguras devisa kita dan memperlemah nilai tukar rupiah. Pada 2012, defisit perdagangan subsektor tanaman pangan mencapai 6,7 miliar dollar AS, hortikultura 1,3 miliar dollar AS, serta peternakan 2,9 miliar dollar AS.
Pada 2013 (data sampai September), subsektor tanaman pangan defisit 3,8 miliar dollar AS, dengan hortikultura defisit 876,9 juta dollar AS dan peternakan defisit 1,66 miliar dollar AS.
Maruf juga mengingatkan pemerintah selama ini melupakan arti penting sektor pertanian dalam kemampuannya menyerap tenaga kerja dan peran strategis kedaulatan pangan bagi kedaulatan sebuah bangsa ke depan.
“Angka pertumbuhan terus yang dikejar. Padahal, pertumbuhan kita dipacu konsumsi, sementara sektor-sektor produktif dibiarkan terbengkalai. Hanya sektor bisnis konglomerasi yang terus bertambah besar. Hal ini bisa dilihat betapa makin besar sumbangan mereka pada pertumbuhan,” ungkap dia.
Sebelumnya, Ekonom Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Noer Sutrisno, menyatakan pemerintah hanya menggunakan data ekonomi makro sebagai target capaian dan melupakan faktor partisipasi riil yang selama ini diemban oleh mayoritas bangsa Indonesia, yakni kalangan usaha kecil, menengah, kecil dan mikro (UMKM), yang kebanyakan berada di sektor pertanian.
“Pemerintahan sering kali menggunakan data, baik yang dibuat BPS (Badan Pusat Statistik) maupun Bank Dunia, hanya untuk menutupi kenyataan riil. Itu terjadi karena kepentingan nasional tidak ada, tapi yang ada adalah kepentingan korporasi besar yang dekat dengan kekuasaan,” kata Noer (Koran Jakarta, 5/5).
Pertanian Berkelanjutan
Menurut Maruf, Indonesia sebagai negara yang perekonomiannya masih rapuh dengan fondasi yang tidak kuat tidak bisa hanya bergantung pada strategi makro-ekonomi analisis. “Indonesia mesti membangun dasar perekonomian yang kuat, yakni menciptakan kemandirian pangan. Selain itu, Indonesia harus mampu menciptakan surplus perdagangan yang berkelanjutan,” jelasnya.
Indonesia, lanjut dia, juga tidak akan bisa menjadi negara yang berdaulat ekonomi selama masih bergantung pada utang luar negeri. “Bagaimana kita mau dikatakan negara maju kalau masih terlilit utang besar? Bahkan, setiap tahun kita masih harus berutang untuk membiayai belanja negara. Malah, untuk membayar bunga utang saja tidak bisa sehingga harus dibayar dengan utang baru,” jelas Ma’ruf.
Secara terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, M Nafik, mengatakan kemandirian pangan mutlak diperlukan, dan untuk mencapainya, pemerintah harus melakukan pembangunan pertanian berkelanjutan, termasuk mengembangkan teknologi pertanian.
“Bila kita tidak membangun kemandirian pangan, maka kita akan terus bergantung pada negara produsen pangan impor. Tanpa kemandirian, penghasilan kita akan habis untuk membeli pangan impor dan membayar utang,” jelas dia.
Nafik menambahkan kemampuan memenuhi pangan dalam negeri makin menurun di tengah pertambahan penduduk dan makin masifnya konversi lahan. “Minat pemuda desa untuk mengembangkan sawah orang tuanya juga tidak ada karena memilih jadi buruh rendahan, dan orang tuanya juga memilih menjual lahannya sehingga luas lahan pertanian makin menurun,” kata dia.
Indonesia perlu segera meningkatkan produksi dan kualitas pangan secara signifikan mengingat penduduknya yang berjumlah 250 juta jiwa merupakan terbesar keempat di dunia dengan laju pertambahan sekitar 1,3 persen per tahun. Selain itu, tingkat konsumsi pangan per kapita masih rendah, dan itu perlu ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM)-nya. YK/SB/WP
http://koran-jakarta.com/?11400-tanpa%20kemandirian,%20ri%20mustahil%20jadi%20negara%20maju
Tidak ada komentar:
Posting Komentar