TAHUN 2014, sesungguhnya bisa dipilih sekaligus ditasbihkan sebagai tonggak kecongkakakan politik beras nasional. Bahkan kini terbukti basa-basi politik Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB-II) belaka. Awal 2014, terbongkar mafia dan modus kejahatan ‘tumpangan’ beras medium dalam importasi beras premium di Pasar Induk Cipinang. Padahal jargonnya masih diwarnai target surplus 10 juta ton. Hari ini, ketika target surplus tidak pernah diralat sebagai sabda pandhita ratu, ternyata pemerintah memutuskan rencana untuk importasi beras.
Ada beberapa pasal yang menjadi pembenar rencana dimaksud. Pertama, pengadaan pangan Bulog yang tahun ini mengalami kelambatan bukan main. Pada akhir April 2013 pengadaan Bulog bisa mencapai 1 juta ton, tetapi tahun ini baru 700.000 ton. Alasan pengadaan yang lambat inipun mengada-ada: harga yang turun dalihnya. Aneh. Pembenaran ini terasa aneh bin ajaib. Gagal pengadaan malah dihadiahi importasi.
Kedua, target produksi beras nasional 2014 diturunkan sebesar 3,95%, menjadi 73 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), dari target awal 76 juta ton. Pembenaran ini juga jalan pintas yang menggelikan karena sembrana memasang target dan akibatnya gagal. Ketiga, pembenaran lain yang diharapkan memperoleh simpati publik adalah kegagalan panen di banyak kawasan karena serangan hama wereng yang mencapai 40.000 hektare lahan. Nyaris tidak pernah terdengar upaya penanggulangan hama wereng, tahu-tahu jadi pembenar import.
Angka yang disajikan KIB-II sungguh serangkaian misteri. Lihat misalnya, kalau target produksi revisi 73 juta ton GKG itu bisa direalisir, maka jumlah GKG ini setara dengan 42 juta ton beras. Dibandingkan dengan angka nasional konsumsi beras 33 juta ton, jumlah ini surplus banyak. Jelas sekali pengadaan sejumlah 2 juta ton untuk cadangan beras pemerintah bukan sesuatu hal yang sulit, kecuali memang dibikin sulit.
Itu jika angka 73 benar adanya. Andai saja harus dikoreksi dengan gagal panen 40.000 hektare karena wereng, masih akan menyisakan 72,5 juta ton GKG. Akan tetapi nampak sekali bahwa ada kecenderungan angka 73 juga angka basa-basi untuk bisa membenarkan bahwa 2014 adalah tahun surplus 10 juta ton beras. Sementara itu, angka 10 ini jelas sekali angka sulapan. Target politik yang tidak mungkin seorang Dirjen mengetahui rasionalitasnya, tetapi harus melaksanakan sebagai kontrak kinerja. Karena itu dibangun pembenaran importasi beras dengan perihal lainnya, seperti jasa wereng dan jasa kelambanan procurement Bulog. Wereng dan kelambanan pengadaan kali ini sepertinya memang diharapkan untuk menjadi pembenar meski uraian singkat ini menyebutnya mengada-ada.
Pergantian pemerintahan adalah kebiasaan. Begitu pula pergantian rezim, kabinet dan presiden, seperti sedang dipersiapkan melalui aneka prosesi pemilihan pada penggalan awal tahun politik 2014. Semua adalah biasa: mekanisme lima tahunan. Akan tetapi perubahan kebijakan secara mendadak dan tanpa rasionalitas strategis yang dipahami publik adalah plinthat-plinthut, pembodohan dan kebohongan publik yang tidak pernah bisa dimaklumi. Terlebih ketika hal itu terjadi pada masa-masa politik seperti sekarang, ketika bangsa besar ini sedang mengawal satu transisi peradaban antar-rezim yang disebut pemilu. Kebijakan mencla-mencle memang tidak elok dilakukan di masa transisional.
Apalagi kalau dicermati lebih dalam lagi tentang data pembenarnya. Jelas sekali bahwa angka-angka pembenarnya sangat tidak memadai sebagai legitimasi importasi. Karena itu, yang mengkhawatirkan sebetulnya adalah realitas data riil yang sebenarnya mendesak KIB-II untuk memutuskan importasi ini karena tiga alasan yang dikemukanan itu sulapan.
Kesungguhan dan kejujuran KIB-II inilah yang sesungguhnya ditunggu rakyat tani Indonesia. Apa gerangan yang sebenarnya terjadi? Sehingga keputusan tentang importasi dinilai publik sebagai keputusan yang tidak prematur sekaligus sebagai pemikiran kebangsaan yang hebat, bukan tendensius dan bukan pula didikte segelintir komprador, londo ireng menurut Buya Syafii, dan antek nekolim menurut Bung Karno.
Dalam masa jabatan KIB-II yang tinggal menghitung hari, kebenaran data itulah yang sesungguhnya dibutuhkan. Tidak hanya oleh rakyat Indonesia, tetapi juga penguasa KIB-II sebagai modal untuk soft landing, husnul khatimah beberapa hari ke depan, dan bukan sebaliknya.
M Maksum Machfoedz
(Penulis adalah Ketua PBNU, Guru Besar UGM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar