Indonesia kini mengalami kasus yang sama dengan Haiti, terkait dengan sektor beras lokal. Ian Angus, editor Climate and Capitalism, dalam artikelnya menggambarkan bahwa Haiti adalah satu contoh kuat yang memprihatinkan. Beras telah dibudidayakan di Haiti selama berabad-abad, dan hingga sekitar dua puluh tahun lalu, petani Haiti memproduksi sekitar 170.000 ton beras per tahun, cukup untuk memasok 95 persen konsumsi domestik.
Petani beras tidak menerima subsidi pemerintah, tapi layaknya sebuah negeri produsen beras saat itu, akses mereka terhadap pasar dilindungi oleh tarif impor.
Pada 1995, sebagai syarat mendapatkan pinjaman yang sangat dibutuhkan, Dana Moneter Internasional (IMF) mengharuskan Haiti memangkas tarif impor berasnya dari 35 persen menjadi 3 persen, terendah di Karibia.
Akibatnya adalah masuknya beras AS secara massal. Beras impor ini dijual setengah harga dari beras yang dibudidayakan di Haiti. Ribuan petani beras kehilangan lahan dan penghidupannya, dan kini tiga per empat beras yang dimakan di Haiti berasal dari AS.
Beras AS mengambil alih pasar Haiti bukan karena rasanya lebih enak, atau karena petani beras AS lebih efesien. Ia dimenangkan karena ekspor beras disubsidi secara besar-besaran oleh pemerintah AS. Pada 2003, petani beras AS menerima subsidi pemerintah sebesar 1,7 miliar dollar AS, dengan rata-rata 232 dollar AS per hektare (ha) beras yang dibudidayakan. Dana tersebut, yang kebanyakan mengalir ke pemilik tanah yang sangat besar dan korporasi agrobisnis, memungkinkan eksportir AS menjual beras seharga 30–50 persen di bawah biaya produksi yang sesungguhnya.
Pendeknya, Haiti dipaksa untuk meninggalkan proteksi pertanian domestik dari pemerintahnya, dan AS kemudian menggunakan pemerintahnya untuk memproteksi rencana mereka dalam mengambil alih pasar.
Ini adalah satu cerita tentang memaksakan kebijakan liberalisasi kepada negara miskin dan dililit utang, kemudian memanfaatkan liberalisasi itu untuk menangkap pasar.
Pada 30 negeri terkaya di dunia, subsidi pemerintah mencapai 30 dari pemasukan usaha pertanian, bernilai 280 miliar dollar AS per tahun, suatu keuntungan yang tak tertandingi dalam pasar "bebas" sebab yang kaya menulis aturan mainnya.
Permainan dagang pangan dunia dipenuhi kecurangan, dan yang tersisa bagi yang miskin adalah semakin berkurangnya tanaman dan tiadanya perlindungan.
Selama beberapa dekade, Bank Dunia dan IMF telah menolak memberikan pinjaman kepada negeri-negeri miskin, kecuali bila mereka menyetujui "Program Penyesuaian Struktural atau Structural Adjustment Programs" (SAP) yang mengharuskan penerima pinjaman mendevaluasi mata uang, memotong pajak, memprivatisasi usaha kepentingan umum, dan mengurangi atau mengeliminasi program-program bantuan kepada petani.
Ini semua dilakukan dengan janji bahwa pasar akan memberikan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Namun sebaliknya, kemiskinan justru meningkat dan bantuan terhadap pertanian dihapuskan.
Kini, di mayoritas negara Afrika, Asia (termasuk Indonesia), dan Amerika Latin, pasar global yang menentukan harga lokal, dan sering kali satu-satunya pangan yang tersedia harus diimpor dari jauh.
The Economist, beberapa hari lalu, menurunkan artikel tentang gerakan revolusi hijau kedua. Terobosan teknologi dalam budi daya beras akan meningkatkan panen dan mengurangi kemiskinan. Dua hal yang sangat diperlukan rakyat Indonesia ke depan.
Revolusi hijau kedua dipandang penting karena manfaat dari revolusi pertama terlihat mulai mendatar. Yield tahunan beras turun hingga kurang dari sepertiga dari awal revolusi hijau pertama. Sementara permintaan beras meningkat hampir 2 persen setahun di Asia dan melonjak 20 satu tahun di Afrika.
Setelah mencapai prestasi tertinggi sebagai lumbung pangan dunia pada 1984, pada akhir 1998 negeri ini menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia, sebanyak 4,8 juta ton diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bahkan, produk domestik bruto pertanian hanya tumbuh 0,88 persen, nilai tersebut merupakan presentase pertumbuhan usaha pertanian terendah dalam sejarah negeri agraris ini.
Masih tingginya kebutuhan Indonesia dalam hal impor bahan pangan menandakan bahwa negara ini memiliki kemandirian politik yang rendah. Rendahnya kemandirian produksi pertanian di Indonesia bila tidak diatasi akan menyebabkan Indonesia jatuh ke dalam food trap (jebakan pangan) berkepanjangan. Kondisi ini akan terus terjadi jika arahan kebijakan pemerintah semata-mata bermuara pada penyediaan yang dominan bertumpu pada impor saja. Ady Murtoyo
http://www.koran-jakarta.com/?11765-revolusi%20beras
Tidak ada komentar:
Posting Komentar