Minggu, 18 Mei 2014
Jakarta - Indonesia membutuhkan pemimpin yang pro pertanian. Pasalnya, pertanian dalam kepemimpinan saat ini mengalami kemunduran yang menyebabkan membanjirnya impor pangan dan turunnya daya saing pertanian dalam negeri.
Pengamat Ekonomi Faisal Basri mengatakan, pertumbuhan sektor tradable di Indonesia selama 2000-2013 lebih rendah ketimbang sektor non tradable. Umumnya, hal itu terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Sehingga, pemerintahan saat ini dinilai tidak pro sektor riil. Akibatnya, neraca perdagangan pangan dalam negeri defisit. "Indonesia tidak perlu presiden yang berwacana tetapi butuh yang aksi," kata Faisal.
Dia menilai, sektor pertanian semakin rendan di era SBY. Sebagai negara besar, tidak seharusnya Indonesia menggantungkan kepentingan pangannya kepada negara lain karena itu terkait erat dengan kedaulatan. Indonesia akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Selama 2005-2011 terjadi konvergensi harga produk-profuk pertanian di ASEAN. Artinya, produk pertanian di ASEAN makin bebas sehingga terjadi kesetaraan harga. "Produk murah akan masuk ke nagar-negara yang harga pangannya lebih mahal, sehingga harga akan turun," tutur Faisal.
Dia menjelaskan, hingga September 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,55 juta orang. Jika sektor pertanian diperhatikan betul, penurunan kemiskinan tentu akan lebih cepat. Salah satu yang perlu diperhatikan jika pemerintah ingin membangun pertanian adalah meningkatkan pasca panen, termasuk transportasi. Sebab, tingginya biaya transportasi menyebabkan petani tidak mampu mengirimkan produknya.
Saat ini, lanjut dia, ongkos pengapalan Jakarta-Sorong US$ 2.000, Jakarta-Banjarmasing US$ 650, dan Padang-Jakarta US$ 600. Sedangkan biaya pengapalan Jakarta-Singapura US$ 185 dan Jakarta-Rotterdam US$ 550.
Berdasarkan survei Bank Dunia, harga jeruk Medan Rp 20 per kg. Sedangkan harga jerum Mandarin Rp 17.000 per kg. Itu merupakan dampak dari mahalnya biaya transportasi di Indonesia. Meski pemerintah sudah membatasi pintu masuk impor hortikultura, namun produk tersebut tetap mudah masuk karena maraknya penyulundupan.
http://www.beritasatu.com/politik/184718-ri-perlu-pemimpin-yang-pro-pertanian.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar