Sabtu, 10 Mei 2014
JAKARTA, KOMPAS — Tekanan kenaikan harga beras pada Juni dan Juli 2014 akan semakin besar. Namun, justifikasi impor yang akan dilakukan pemerintah dipertanyakan.
Hal itu diungkapkan Guru Besar Ilmu Pertanian Universitas Lampung, sekaligus Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bustanul Arifin saat dihubungi Jumat (9/5), di Australia.
Menurut Bustanul, proses produksi padi pada panen rendeng tahun ini sudah selesai. Pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Di sisi lain, musim tanam gadu atau musim kemarau I akan banyak masalah dan puso. ”Indonesia dipastikan akan impor beras tahun ini,” katanya.
Program peningkatan produksi beras selama ini kurang berhasil. Selain itu juga terlalu monoton, tak ada langkah luar biasa, dan melalui pendekatan proyek.
Hal ini terjadi karena proses perencanaan, implementasi, evaluasi, dan monitoring bukan satu rangkaian utuh.
Produksi padi tahun 2014 turun 0,1 persen. Perum Bulog kesulitan pengadaan. Target produksi padi 2014 diturunkan dari 76 juta ton gabah kering giling menjadi 73 juta ton.
Namun, Bustanul dalam surat elektroniknya mengatakan, jika impor tidak jelas justifikasi pemberian izinnya, itu berarti perencanaan ketersediaan pangan tidak baik.
”Tidak ada sinkronisasi data dasar di Kementerian Pertanian, BPS, Perum Bulog, dan laporan daerah,” katanya.
Ia menambahkan, jika impor pangan cukup besar tahun ini, hal itu dipastikan ada keanehan. Dalam dua pemilu berturut, yaitu 2004 dan 2009, kinerja produksi pangan selalu baik dan impor tidak besar.
Gangguan produksi beras juga terjadi pada 2010. Dampaknya inflasi kelompok bahan makanan pada November dan Desember 2010 berturut-turut 1,49 persen dan 2,81 persen. Sementara pada Januari 2011 sebesar 2,21 persen.
Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan, stok beras yang cukup sangat penting untuk modal stabilisasi harga beras di pasar saat para spekulan bermain. (MAS/MAR)
http://epaper.kompas.com/kompas/books/140510kompas/#/18/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar