Terjepit
Pertanian memang menjadi sektor penting yang harus diperhatikan lebih serius lagi. Indonesia, selain sebagai negara maritim juga negara agraris yang bertanah subur. Kita pernah mendapatkan penghargaan dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) pada 1984 karena berhasil swasembada pangan. Harus diakui, ini salah satu keberhasilan pemerintah Orde Baru (Orba) pimpinan Soeharto. Namun, sejak saat itu kemampuan untuk swasembada pangan terus menurun akibat investasi pemerintah di bidang pertanian yang berkurang dari tahun ke tahun.
Puncaknya terjadi saat krisis ekonomi tahun 1997 yang menghantam Asia. Para petani sebenarnya tidak mengalami krisis. Namun, karena Indonesia pada Oktober 1997 menandatangani Letter of Intent dengan IMF, petani ikut terjerumus dalam krisis. Pada 1998, Indonesia misalnya dipaksa menurunkan tarif beras sampai 0 persen. Selain itu, Indonesia dilarang memberi subsidi pupuk. Keduanya membuat petani tak berdaya bersaing dengan beras impor yang lebih murah daripada beras di dalam negeri.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mempunyai peraturan khusus tentang subsidi pertanian, yaitu Agreement on Agriculture (AoA). Dengan perjanjian AoA ini, negara-negara anggota WTO memiliki beberapa kewajiban. Pertama, membuka pasar domestiknya bagi komoditas pertanian dari luar (market access). Kedua, negara anggota WTO harus mengurangi subsidi domestik. Ketiga, mengurangi subsidi impor. Akibat perjanjian AoA ini, petani benar-benar dibuat makin jauh terpuruk karena petani yang lemah itu dibiarkan hanyut dalam terjangan arus globalisasi pasar bebas.
Mengutip A Husni Malian (2011), AoA sebenarnya lebih banyak merugikan negara-negara berkembang dan menguntungkan negara-negara maju. Pertama, akses terhadap pasar bebas di negara-negara maju jauh lebih sulit dijangkau negara-negara berkembang. Itu karena begitu banyaknya hambatan nontarif serta initial tariff rate yang tinggi. Kedua, dengan kekuatan modal yang mereka miliki, negara-negara maju dapat memberikan subsidi terhadap komoditas pertanian yang mereka produksi untuk mendorong laju ekspor mereka. Ketiga, tidak adanya fleksibilitas bagi negara-negara berkembang untuk menyesuaikan tarif di dalam perjanjian ini.
Negara-negara maju yang lantang menuntut penghapusan subsidi pertanian justru menggelontorkan dana besar untuk subsidi pertanian mereka. Menurut Kevin Watkins dari Oxfam, setiap tahun negara maju mengeluarkan US$ 1 miliar per hari untuk memberi subsidi pada pertanian mereka. Pada 2002 saja, 30 negara industri yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menghabiskan US$ 311 miliar untuk subsidi pertanian. Dengan subdisi ini, mereka dapat membuat jatuh harga gandum dan produk pertanian lain di dunia. Hal ini pada gilirannya merugikan petani di negara-negara yang sedang berkembang.
Peraturan lain WTO yang menghimpit pertanian, terutama di negara yang sedang berkembang adalah apa yang disebut dengan Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs). Salah satu pasalnya mengenai pertanian menetapkan hak intelektual atas tanaman dan bibitnya yang telah dikembangkan perusahaan bioteknologi. Ini menyebabkan komunitas setempat kehilangan hak atas sumber daya mereka sendiri. Selain itu, petani harus membayar untuk menanam tanam-tanaman yang sudah dipatenkan, seperti beras, gandum, kedelai, jagung, kentang, dan lain-lain.
Kelembagaan Petani
Dalam situasi seperti ini, langkah yang dapat dilakukan antara lain memperkuat kelembagaan petani. Ini merupakan faktor penting bagi terbukanya akses pasar bagi petani. Elizabeth dan Darwis (2003) mengatakan, agar kelembagaan petani dapat tetap tumbuh dan berkelanjutan, harus terpenuhi prinsip kemandirian lokal. Prinsip tersebut merupakan sebuah pendekatan di mana pemberdayaan harus dilakukan secara terdesentralisasi dan bukan terpusat yang cenderung menciptakan keseragaman. Prinsip ini harus terejawantahkan melalui harmonisasi antara institusi kelembagaan lokal tradisional yang dilandasi jiwa komunitas, kelembagaan pasar yang dilandasi ekonomi pasar, dan kelembagaan politik atau birokrasi.
Kita sebenarnya punya KUD (Koperasi Unit Desa) yang dibentuk pemerintah Orba. Swasembada pangan yang pernah kita alami tahun 1980-an, salah satunya disebabkan adanya lembaga ini. Sayangnya, nasib koperasi sekarang ini semakin buram. Menurut Endang Thohari, anggota Majelis Pakar Dekopin, jumlah koperasi di Indonesia dari tahun ke tahun memang semakin besar, yaitu mencapai 170.411 unit dengan anggota berjumlah 29,240 juta pada 2010 dan mampu meningkatkan volume usaha mencapai Rp 82,1 triliun. Namun, di balik itu sesungguhnya 10 persen koperasi di Indonesia sudah tidak aktif lagi. Mirisnya, sebagian besar adalah KUD.
Jokowi dan Prabowo punya visi-misi global untuk memajukan pertanian Indonesia. Menarik ditunggu, apakah mereka punya strategi khusus yang lebih implementatif untuk itu di tengah persaingan ekonomi dunia yang dikuasai negara-negara maju? Apakah mereka bisa memanfaatkan pusaran ekonomi pasar bebas saat ini untuk kepentingan para petani dan meningkatkan kesejahteraan mereka? Bagaimana cara mereka memperkuat kelembagaan petani hingga kita bisa kembali menjadi negara swasembada seperti dulu? Jangan sampai tanah subur yang hakikatnya adalah berkah berubah menjadi kutukan karena pemerintah tak becus mengelolanya untuk kepentingan rakyat.
Fajar Kurnianto
Penulis adalah Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.
Fajar Kurnianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar