Kamis, 14 Juli 2016

Tugas dan Tantangan Baru Bulog

Yudhi Harsatriadi Sandyatma, S.Sos, M.Sc

Instabilitas harga pangan menjelang dan pada saat puasa sudah menjadi habituasi setiap tahun yang belum terpecahkan secara komprehensif hingga saat ini. Berbagai cara dan upaya telah dilakukan pemerintah dari rezim sebelumnya hingga era kepemimpinan Presiden Jokowi, namun belum terlihat hasil yang nyata dirasakan oleh masyarakat luas. Rantai pasok yang panjang mulai dari produsen hingga ke tangan konsumen ditengarai menjadi penyebab utama tingginya harga pangan, di mana “middleman” memiliki posisi tawar yang kuat dalam menentukan harga dan sebagai pemilik profit marjin tertinggi dibandingkan produsen itu sendiri.

Pemerintah sebenarnya sebelum tiba bulan puasa tahun 2016 telah melakukan ancang-ancang melakukan stabilisasi harga pangan. Mulai dari instruksi Presiden Jokowi kepada para pembantunya untuk menjungkirbalikkan kebiasaan harga pangan yang melambung tinggi, yang ditindaklanjuti operasi pasar dan berbagai gelar pangan murah yang melibatkan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Perum Bulog, serta berbagai perusahaan di bidang pangan.

Dari sisi kelembagaan, Bulog sebagai lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menstabilkan harga pangan dan menjadi bufferstock diperkuat dari sisi regulasi dengan terbitnya Perpres Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan Kepada Perum Bulog Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional.

Perluasan Otoritas

Dalam Perpres tersebut, setidaknya ada 6 isu penting yang mengemuka. Pertama, Bulog ditugaskan oleh pemerintah untuk menjaga ketersediaan dan stabilisasi harga di tingkat produsen dan konsumen untuk komoditas beras, jagung, dan kedelai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar