Senin, 11 Juli 2016

Akhir Harga Mahal

Senin,11 Juli 2016


Pekan lalu, sebuah laporan tentang harga pangan dikeluarkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Ada hal yang mengejutkan, yaitu tentang akhir dari masa harga pangan mahal dalam waktu 10 tahun ke depan. Apakah demikian?

Laporan ini pada satu sisi memberi kabar baik bagi penyediaan pangan sehingga harga pangan turun. Beberapa prediksi menyebutkan peningkatan produksi di beberapa kawasan, seperti secara global produksi pangan akan naik 1,5 persen dalam satu dekade, produksi pangan di Asia Selatan serta Asia Timur akan tumbuh hingga 20 persen, dan di Amerika Latin budidaya kedelai akan naik 24 persen dalam satu dekade ke depan. Secara umum ada perbaikan produktivitas panen pada masa sepuluh tahun ke depan meski dalam ringkasan eksekutifnya tidak disebut faktor-faktor kenaikan produksi itu.

Meski demikian, dunia masih meninggalkan masalah pangan di Afrika, terkhusus di wilayah sub Sahara dan Tiongkok. Sub Sahara sudah lama mengalami masalah pangan akut dan kerap terjadi kelaparan meski ada proyeksi jumlah orang kelaparan akan menurun. Tiongkok dengan industrialisasi yang besar-besaran telah mengurangi lahan pertanian sehingga sumber pangan harus diimpor. Langkah Tiongkok membeli pangan di pasar global selalu mengguncang harga pangan.

Untuk itulah, laporan FAO dan OECD harus dibaca lebih cermat. Kedua lembaga itu tetap mengingatkan semua pihak harus waspada. Potensi harga pangan naik juga cukup besar mengingat perubahan iklim dan juga kenaikan permintaan.

Pertumbuhan kelas menengah dan perbaikan pendapatan akan menaikkan permintaan terhadap daging sapi, ayam, dan ikan. Kenaikan permintaan ini akan menaikkan pula permintaan beberapa komoditas pangan untuk pekan ternak, seperti gandum, bungkil kedelai, dan juga beras.

Pertambahan penduduk dunia juga tetap menjadi masalah penting karena akan menaikkan kebutuhan pangan.

Secara khusus, bila kita melihat ke dalam negeri, perbaikan produksi masih membutuhkan beberapa langkah. Ketersediaan lahan pertanian masih menjadi masalah. Penambahan lahan baru dalam skala luas belum bisa diwujudkan. Alih fungsi lahan malah lebih terlihat di beberapa sentra pangan, seperti di Kabupaten Karawang dan Subang di Jawa Barat.

Perbaikan kualitas benih yang bisa meningkatkan produksi memang sudah dilakukan oleh swasta, tetapi kontroversi benih transgenik akan berlanjut sehingga lonjakan produksi melalui rekayasa genetika ini masih akan menemui jalan terjal. Cara-cara konvensional masih akan dipilih dan dipastikan tidak akan meningkatkan produksi secara signifikan. Sebuah pilihan yang tidak mudah.

Mekanisasi pertanian sudah terlihat di beberapa tempat meski jumlahnya minim. Untuk menekan biaya produksi dan menekan kehilangan hasil saat panen, mekanisasi dalam skala luas masih diperlukan.

Meski demikian, pemerintah sekarang masih memberi harapan untuk meningkatkan produksi. Pembangunan bendungan dan irigasi di berbagai tempat memberi harapan makin banyak lahan yang bisa digunakan untuk produksi pangan.

Subsidi dari pemerintah, seperti untuk benih dan pupuk untuk menaikkan produksi, masih besar dan bisa memberi insentif kepada petani. Akan tetapi, pemerintah perlu memastikan subsidi itu jatuh ke tangan yang berhak dan tidak disalahgunakan karena tidak menutup kemungkinan subsidi ini menjadi lahan korupsi.

Melihat laporan FAO dan OECD, kita memiliki keraguan sekaligus harapan. Harapan bawa produksi pangan dunia dan Indonesia meningkat. Perbaikan dan kerja keras masih perlu dilakukan agar produksi pangan yang melimpah bisa terwujud.

(ANDREAS MARYOTO)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160711kompas/#/17/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar