Rabu, 27 Juli 2016
Dalam akun facebook "Ir H Joko Widodo", Presiden pernah menjelaskan perbedaan Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan. "Ketahanan pangan itu beda dengan kedaulatan pangan, ketahanan pangan itu 'hanya' sekedar bahan pangan itu 'ada' di gudang-gudang logistik dan di pasar-pasar. Tapi bahan pangan itu darimana tidak jadi soal, dari impor atau lokal tak dipilirkan, yang penting ada. Kalau 'kedaulatan pangan' itu bahan pangan ada, kita produksi sendiri dan kita kuat dalam pemasaran, bahkan pangan yang kita hasilkan dari pertanian kita bisa menguasai pasar-pasar di luar negeri...". Dalam pemerintahan Kabinet Kerja, yang dituju adalah "Kedaulatan Pangan", memang panjang jalan menuju itu, karena kita harus melawan banyak hambatan namun sudah tekad pemerintahan Joko Widodo ke arah sana. Visi terbesar dari kedaulatan pangan adalah ketika hasil pangan dari bumi Indonesia melimpah di pasar lokal maupun pasar luar negeri, setidaknya di negara-negara ASEAN. Pentingnya persoalan pangan bagi masyarakat Indonesia tidak perlu dipertanyakan kembali. Sehingga setiap pemimpin Indonesia dituntut untul memiliki solusi yang efektif untuk menangani persoalan-persoalan pangan yang dialami Indonesia. Persoalan pangan adalah persoalan "Hidup Mati Bangsa Indonesia". Itulah pesan sekaligus peringatan yang disampaikan oleh Presiden RI pertama, Soekarno, ketika meletakkan batu pertama pembangunan kampus IPB pada 27 April 1952. Meskipun bangsa ini ketika itu baru seumur jagung, baru berusia tujuh tahun, tapi kesadaran akan pentingnya meletakkan dasar pembangunan di bidang pertanian sudah sejak awal dimunculkan. Apa yang digagas Bung Karno pada masa pemerintahannya, menunjukkan adanya visi yang jelas terkait upaya penanggulangan masalah pangan. Ini juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kerangka pemikiran pemimpin nasional. Sebuah obsesi untuk menciptakan kemandirian penyediaan pangan bagi rakyat. Tentu saja yang utama adalah niat, dan niat itu menjadi lapis dasar dari visi dan tekad yang kemudian diterjemahkan dalam konsep kebijakan nasional. Namun, yang penting adalah bagaimana semua rencana itu bisa berjalan di tingkat praksis. Bukan sekadar diwacanakan. Meski pemerintah masa lampau belum berhasil mengangkat kesejahteraan petani hingga "berdaulat" atas diri dan usahanya sendiri, setidaknya dalam skala nasional persoalan ketersediaan pangan khususnya beras, tidak menimbulkan gejolak seperti sekarang. Tentu saja kompleksitas permasalahan hari ini dan ke depan berbeda tantangannya dibandingkan dengan masa lampau. Kenyataan itu tentu menuntut konsep dan strategi tersendiri sesuai skala persoalan dan tantangan baru yang dihadapi. Hari-hari ke depan nanti, pemerintah akan menyusun kebijakan pangan yang lebih komprehensif. Menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution, kebijakan itu dimaksudkan untuk menjaga ketersediaan dan menstabilkan harga komoditas pokok, seperti beras, daging sapi, gula, dan jagung. Presiden menargetkan, dalam tiga bulan ke depan, kebijakan pangan dapat dijalankan. Pemerintah tampaknya akan berusaha menjamin pasokan dari sentra produksi benar-benar mengalir ke konsumen secara lancar dan cukup serta wajar dari segi harga. Intinya mendekatkan konsumen ke produsen dan sebaliknya. Pemerintah berencana tidak akan mengimpor sebagia besar bahan pangan strategis, kecuali gandum atau terigu, kedelai dan sapi bakalan. Jikapun impor dilakukan, hanya sesuai dengan kebutuhan saja. Impor adalah pilihan terakhir, dan lebih rendah dibanding sekarang. Pemerintah juga memastikan, daging sapi beku akan terua dijual di pasar tradisional. Untuk itu, pemerintah akan mencabut regulasi pembatasan daging beku ke pasar tradiaional. Dengan kebijakan ini, masyarakat akan punya lebih banyak pilihan saat hendak membeli daging di pasar. Harga daging beku dan daging segar dengan kualitas dan kandungan lemak yang sama terpaut cukup jauh. Daging beku diharapkan oleh pemerintah menjadi penyeimbang kebutuhan daging sapi. Presiden Joko Widodo menargetkan pengendalian impor pangan dengan cara meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri, pemberantasan mafia impor, dan juga mengembangkan ekspor pertanian berbasis pengolahan pertanian. Pengendalian impor pangan yang mengutamakan pengurangan impor semata juga membebankan mastarakat Indonesia karena harus mendapatkan kebutuhan pangan dengan harga yang lebih tinggi. Dalam rapat terbatas kebijakan pangan di Kantor Presiden pada Januari 2016, Presiden menyampaikan bahwa tujuan utama kebijakan di bidang pangan adalah membuat rakyat cukup pangan. Setelah itu, tujuan kebijakan kebijakan pangan adalah untuk menurunkan kemiskinan karena masalah pangan ini memberikan kontribusi besar terhadap angka kemiskinan. Dua tujuan lainnya adalah, membuat petani lebih sejahtera, dan membuat produsen pangan dalam negeri makin besar andilnya untuk mencukupi kebutuhan pangan. Intinya adalah, kita memerlukan kebijakan yang menyeimbangkan antara produsen, pedagang dan konsumen. Presiden mengungkapkan, bahwa data menunjukkan kenaikan harga pangan mulai 2011-2015 kenaikannya sudah hampir 70%. Presiden menginginkan agar harga dapat dikembalikan pada harga-harga yang normal. Oleh sebab itu langkah-langkah komprehensif memperbaiki permintaan, suplai, memperbaiki mata rantai perfagangan, sistem data, dan informasi pertanian, harus betul-betul komprehensif dan valid. Kita sungguh berharap agar pemerintah dapat mendorong harga pangan dapat stabil dan murah. Untuk itu, sinkronisasi kebijakan antar kementerian menjadi penting, dan pemerintah harus mengambil langkah cepat dan strategis untuk mengatasi berbagai lonjakan harga pangan secara komprehensif.
www.berdikaricenter.id
http://www.kompasiana.com/lingkaran_muda/pemerintah-akan-menyusun-kebijakan-pangan-komprehensif-menjawab-anomali-stok-harga_57980ab74023bd6c0af43125
Tidak ada komentar:
Posting Komentar