Pada tahun 2005 DPRRI dengan dipelopori oleh Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengajukan usulan Hak Angket mengenai impor beras. Hak Angket adalah hak DPR untuk mengadakan invesitigasi mengenai suatu kebijakan. Mengajukan usul Hak Angket ini merupakan fungsi pengawasan DPRRI. Usulan agar DPRRI mengajukan Hak Angket terkait dengan pemberian ijin secara diam-diam oleh pemerintah, dalam hal ini melalui Keputusan Menteri Perdagangan kepada Perum Bulog. Kebijakan ini diduga melanggar UUD 1945 dan undang-undang lainnya. Usulan Hak Angket ini didukung oleh mantan Presiden Megawati, Abdurahman Wahid, Amien Rais dan Pramono Anung. Disamping pemberian ijin tersebut, fakta yang ada pada saat itu adalah Indonesia masih memiliki beras surplus 2,23 juta ton. Pada pemungutan suara untuk memutuskan apakah akan melaksanakan Hak Angket ataukah Hak Interplasi (Hak Bertanya) yang dimajukan dalam sidang paripurna DPRRI, mayoritas anggota DPRRI memutuskan untuk melakukan Hak Interplasi dan bukan Hak Angket. Putusan ini akhirnya melancarkan keinginan pemerintah untuk mengimpor beras.
Tahun 2007, impor beras kembali akan dilakukan pemerintah. Bahkan bulan Maret ini akan segera datang beras 70.000 ton dari 500000ribu ton yang akan diimpor. Nyata sekali, pemerintah tidak belajar dari kontroversi impor beras sebagaimana terjadi tahun 2005 di atas, bahkan masalah menjadi semakin pelik dan legitimasi pemerintah semakin terdegradasi. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak bisa mengemban amanat rakyat terutama karena pemerintah tidak mempedulikan suara-suara rakyat, khususnya petani yang akan menuai dampak negatif dari impor beras ini.
Petani dan masyarakat yang menolak kebijakan impor beras diantaranya disebabkan:
– impor beras akan menjatuhkan harga produksi beras lokal, hasil panen melimpah harga padi membaik
– beras impor berpotensi membatasi penjualan beras petani ke sejumlah daerah (beras impor akan ditarget dijual di daerah tertentu, sehingga menutup keran masuk bagi beras daerah lain)
– tanpa impor beras kualitas petani terangkat, beras lokal tidak kalah dengan beras Luar Negeri
– semangat petani untuk berproduksi menurun karena ada beras impor (buat apa menanam padi, toh di masyarakat sudah banyak beras)
– harga beras ditingkat daerah sudah menguntungkan petani (PemKab Bojonegoro), tidak perlu diturunkan lagi.
– rencana impornya saja sudah membuat harga beras turun Rp.400-450
– tidak jelas aturan pengelolaan beras impor oleh Bulog dan tidak mekanisme pengawasan dan hukum yang tegas agar beras tidak masuk ke wilayah surpls beras
– akan menganggu ketahanan pangan dan kedaulatan karena ada bahaya bergantinya produser beras dalam negeri ke luar negeri (padahal kebutuhan beras selama ini tinggi dapat dipenuhi oleh produksi lokal)
– faktanya beras hingga akhir Januari 2007 pasokannya aman, akan tetapi karena banjir distribusi tergganggu dan bukan persediaan tidak ada.
Itulah sebagian sebab mengapa impor beras harus ditolak.
Sedangkan mereka yang setuju impor beras terutama dari kalangan pemerintah dan segelintir pengamat ekonomi diantaranya dengan alasan:
– Indonesia dianggap perlu mengimpor beras untuk menjamin stok dalam negeri dan politik perdagangan internasional, jika tidak mengimpor sama sekali nanti disalahkan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) seperti disampaikan Anton Apriantono (Menteri Pertanian Kabinet SBY-JK)
– Menurut Jusuf Kalla, harga beras adalah pendorong utama inflasi dan naiknya suku bunga
– Impor beras dapat menurunkan harga beras yang sedang tinggi
Bukannya mencari penyebab mengapa beras tinggi harganya, pemerintah malah mencari solusi instan yang dipaksa oleh pihak luar WTO. Hal ini menunjukkan pula ketidakmampuan menjaga legitimasi dan kedaulatan nasional dari tekanan luar untuk melindungi rakyat-petani. Gabah Giling Kering ditingkat petani masih rendah, dan hanya dibeli oleh Bulog seharga HPP. Padahal harga tersebut jauh lebih ecil dari harga produksi gabah. Pernyataan Jusuf Kalla menggambarkan bahwa petani dituntut untuk menyediakan harga beras murah demi menjaga kestabilan ekonomi makro (inflasi,pertumbuhan ekonomi dan keseimbangan perdagangan), padahael kondisi ekonomi makro tidak pernah berkontribusi langsung bagi kesejahteraan rakyat, malahan banyak dari penentu dan pelaku perdagangan uang, perbankan nasional adalah pengutang (debitor) yang nakal. Impor beras yang antara lain untuk operasi pasar telah berimbas rendahnya harga beli Pasar Induk Cipinang atas beras lokal, karena Bulog menyalurkan beras Operasi Pasar melalui PT Food Stasiun Cipinang.
Untuk itulah masyarakat lokal dan partai politik serta ormas masyrakat yang ada secara keras dan bersama-sama menolak impor beras. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk ini, di antaranya dengan menjaga dan mengawasi pelabuhan di wilayah masing-masing agar tidak dimasuki beras impor. Ini bisa dilakukan dengan kerjasama lintas ormas atau lintas partai. Di antara ormas yang telah menyatakan menolak adalah Mahasiswa…., dan Nathadtul Ulama Yogyakarta dalam pernyataan yang disampaikan websitenya (www.nu.or.id) telah menyatakan penolakan atas impor beras.
Indonesia pernah melakukan pelarangan atas beras impor tahun 2004, yang berimplikasi positif pada petani, yaitu: telah menaikan harga gabah petani; memotivasi petani untuk budidaya pertanian; perdagangan antar pulau lebih dinamis, daerah surplus beras menjual beras ke daerah defisit beras; mendorong ekspor beras ke Afrika dan Arab Saudi 5200 ton beras tahun 2005. Indonesia seharusnya menaikan bea masuk impor beras. Negara penghasil beras Thailand menerapkan bea masuk impor beras 60%, Jepang 400% sedangkan Indonesia yang juga penghasil beras hanya 30%.
Merdeka!
Hasto Kristiyanto, Anggota DPR Komisi VI PDI Perjuangan Daerah Pemilihan Jawa Timur
Gedung MPR DPRRI Nusantara I Lantai 8, Ruang.806
Jl.Jend.Gatot Subroto Jakarta
Telp.021-5756303 Faks.021-5756305
Email: Hasto1966@yahoo.co.id
https://hastopdiperjuangan.wordpress.com/category/tolak-impor-beras2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar